Pemutakhiran regulasi kelompok rentan dibutuhkan untuk mendorong penghapusan stigma dan perilaku diskriminatif terhadap korban. Di samping pembenahan substansi, perlu upaya serius untuk menjamin bahwa norma-norma tersebut juga dipatuhi oleh aparat penegak hukum. Sebab, dalam praktiknya isu diskriminasi terhadap kelompok rentan kerap terjadi di dimensi struktur.
Temuan tersebut terungkap dalam diskusi kelompok terpumpun yang melibatkan tiga lembaga pendamping korban, yakni LBH Jakarta, LBH Masyarakat, dan LBH APIK.
PSHK menggelar diskusi tersebut pada Kamis (30/9/2021) sebagai diskusi kelompok terpumpun terakhir dari rangkaian empat diskusi kegiatan penelitian bertajuk “Pengembangan Strategi Advokasi Anti-Diskriminasi terhadap Kelompok Rentan”. Diskusi bertujuan mendapatkan perspektif para pembela hak asasi manusia yang selama ini bekerja di lini terdepan advokasi.
Salah satu kelompok rentan yang hingga kini belum diakui kerentanannya oleh undang-undang adalah perempuan. “Kasus (kekerasan seksual terhadap) perempuan semakin berkembang modusnya. Dalam pengalaman pendampingan terhadap korban, kasus yang diadukan seringkali terkendala akibat aparat penegak hukum justru tidak berperspektif korban,” jelas Uli dari LBH APIK.
Menurutnya, hal ini diakibatkan polisi sangat terpaku pada kriteria pembuktian padahal tidak semua kasus pelecehan seksual memiliki bukti serupa tindak pidana lainnya. “Kebanyakan kasus terjadi di ruang privat sehingga memang sulit menghadirkan alat bukti saksi yang melihat yang sering diminta polisi”, tambah Uli. Kepekaan personel kepolisian dalam kasus-kasus serupa, menurut LBH APIK, perlu dibangun agar hak korban bisa terjembatani.
Uli juga membagikan pengalaman dalam mendampingi korban. “Masih sering terjadi praktik victim blaming dari APH (Aparat penegak hukum) kepada korban. Misalnya, seorang korban pelecehan seksual disangsikan keterangannya karena dipandang terlambat melapor,” jelasnya. Uli mengatakan jika pelaporan dalam kasus perempuan dan anak memang tidak semudah itu dilakukan karena ada trauma yang membuat korban perlu memulihkan diri dulu sebelum memutuskan mengadu.
Diskriminasi juga kerap menimpa para pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Menurut Dominggus Christian (LBH Masyarakat), stigma sosial tentang pengguna narkotika membuat mereka menjadi populasi yang kerap termarjinalkan. Bukan saja rentan karena faktor fisik akibat adiksi, mereka juga terasingkan akibat perlakuan sosial yang diterima. Dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, advokasi anti-diskriminasi terhadap pengguna narkotika menjadi isu yang sangat dilematis karena masyarakat kerap menormalisasi pandangan diskriminatif terhadap pengguna narkotika.
“Asas yang berlaku bagi pengguna narkotika seringkali adalah asas praduga bersalah,” sambungnya. Beberapa aturan terkait rehabilitasi bagi pecandu sudah ada, namun menurut pria yang disapa Chris itu, ada beberapa aturan turunan di level teknis yang kerap jadi penghambat.
LBH Masyarakat melihat bahwa kebutuhan hukum yang saat ini diperlukan bukan lagi pada tataran pembuatan norma HAM yang abstrak di level undang-undang. Melainkan, yang diperlukan adalah pembuatan regulasi turunan yang dapat menjadi pegangan pelaksanaan bagi aparat penegak hukum.
Pertimbangannya, anomali yang terjadi di level penegak hukum muncul karena kecenderungan lebih patuh pada perintah atasan ketimbang undang-undang. Sehingga keberadaan aturan teknis menjadi solusi konkret yang akan jauh lebih implementatif.
Informasi yang terkumpul dalam diskusi kelompok terpumpun ini digunakan PSHK sebagai bahan untuk menyusun riset pengembangan advokasi kelompok rentan dan anti-diskriminasi. PSHK bekerja sama dengan Crisis Response Mechanism (CRM) dalam penelitian tersebut.
Penulis: AU