Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit Indonesia (GIZ) kembali mengadakan diskusi kelompok terpumpun daring dalam rangka menyusun kajian terkait peluang pembentukan penyelesaian sengketa secara daring atau online dispute resolution (ODR) di Indonesia pada Rabu (7/4/2021).
Kajian ini disusun untuk merespon komitmen regional dalam perlindungan konsumen yang dirumuskan dalam ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP 2025) yang berupaya membangun perkembangan sistem perlindungan konsumen di tingkat nasional dan regional yang efektif dalam menangani masalah yang dihadapi konsumen.
Diskusi ketiga ini mengundang perwakilan dari organiasi perlindungan konsumen dan juga akademisi. Sebelumnya diskusi diselenggarakan bersama dengan perwakilan pemerintah serta perwakilan arbitrase dan perwakilan pengusaha. Diskusi kali ini dihadiri oleh Profesor Johanes Gunawan dan Profesor Bernadette M. Waluyo dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. Henny Marlyna dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), serta Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Menurut Prof. Bernadette diperlukan pemetaan peraturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen, hal itu dikarenakan tiap peraturan dan lembaga yang terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda. Pemetaan itu bertujuan agar penyelesaian sengketa yang kelak diwujudkan masih terkait dengan peraturan yang sudah eksis.
Sementara itu Prof. Johannes menilai dari paparan Tim Peneliti PSHK bahwa kajian yang saat ini tengah dikerjakan perlu difokuskan pada perlindungan konsumen. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa kajian ini perlu menambahkan dan memberi perhatian pada revisi RUU Perlindungan Konsumen yang saat ini tengah dikerjakan. Ia menekankan bahwa RUU Perlindungan Konsumen yang akan datang hanya memiliki dua metode, yakni mediasi dan arbitrase.
Sudaryatmo menyampaikan bahwa dalam pertemuan SEAN Committee on Consumer Protection (ACCP) dan the ASEAN Consumer Associations Network (ACAN) kerap membahas berbagai isu konsumen, termasuk penyelesaian sengketa secara daring. Ia memaparkan bahwa konsumen memang memerlukan ODR di tiap jenjang penyelesaian sengketa, yakni penyelesaian sengketa yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha, lalu jika tidak dapat diselesaikan dapat dimediasi oleh pihak ketiga seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan yang terakhir melalui pengadilan.
Wahyudi Djafar menyampaikan perlunya studi komparatif penerapan ODR di beberapa negara. Misalnya di Amerika Serikat yang juga mengalami beberapa kendala penerapan ODR seperti penerapannya yang dinilai tidak adil karena mediatornya dianggap lebih berpihak pada sektor bisnis dibanding konsumen dan tingginya pelaporan yang dilakukan oleh pihak bisnis dibandingkan konsumen. Ia selanjutnya mencontohkan Singapura sebagai salah satu negara ASEAN yang pengembangan alternatif penyelesaian sengketa secara daring dilakukan oleh pihak swasta, yakni Singapore Academy of Law. Meski dikerjakan oleh pihak swasta, pemerintah Singapura mendukung pengembangan tersebut sehingga model tersebut kini menjadi contoh bagi negara lain.
Sementara itu Henny Marlyna menilai secara teknis platform ODR perlu memiliki sistem elektronik akuntabel yang menerapkan Good IT Governance sehingga jika terdapat permasalahan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sistem ODR nanti juga diharapkan memiliki electronic identification authentication sehingga dapat memenuhi syarat kehadiran langsung yang sebelumnya diperlukan.