Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa perlu ada reformasi perundang-undangan yang harus dilakukan besar-besaran agar tidak terjebak pada regulasi yang kaku, ruwet, dan rumit serta menyulitkan pelaku usaha.
Namun, hingga saat ini masih terdapat kecenderungan pembentukan peraturan perundang-undangan secara berlebihan tanpa melihat dan memperhatikan arah dan prioritas pembangunan nasional. Hal ini ditambah pula dengan rendahnya kualitas sebagian besar peraturan perundang-undangan, baik pusat maupun daerah, yang tercermin pada banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, multitafsir, inkonsisten, dan tidak operasional.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Giri Ahmad Taufik, menuturkan bahwa berdasarkan hasil penelitian PSHK menemukan adanya hiper-regulasi terutama terjadi di sisi eksekutif. Dalam kurun waktu Oktober 2014 hingga Oktober 2018, terdapat 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional, dari undang-undang hingga peraturan menteri, Peraturan menteri mendominasi jumlah itu dengan 7.621 regulasi.
Banyaknya peraturan perundang-undangan lama yang sifatnya turunan membuat problem kuantitas semakin pelik serta tidak jelas keberlakuannya. Hal ini sekaligus menandakan bahwa banyak regulasi dibuat tanpa melalui prosedur pemantauan dan evaluasi peraturan perundang-undangan. Tidak sinkronnya perencanaan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan perencanaan dan kebijakan pembangunan juga dinilai menghambat terwujudnya tujuan pembangunan.
Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun bertema Meninjau Agenda Reformasi Regulasi di Kementerian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan PSHK secara daring pada Selasa (13/4/2021). Diskusi terpumpun ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengetahui lebih dalam agenda reformasi regulasi yang dilaksanakan di beberapa Kementerian/Lembaga (K/L).
Sementara itu Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadia Wati, menuturkan saat ini pemerintah berupaya mengatasi permasalahan regulasi yang masih berlaku saat ini dengan melalui simplifikasi regulasi berupa pemangkasan produk peraturan perundang-undangan. Sementara upaya terhadap kondisi future regulation dilakukan melalui empat kebijakan utama, yakni simplifikasi regulasi; rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi; restrukturisasi kelembagaan pembentuk regulasi; dan penguatan sumber daya manusia perencana kebijakan dan perancang peraturan perundang-undangan.
Menurut Diani, upaya peningkatan kualitas regulasi dan juga simplifikasi di berbagai K/L menghadapi problem kultural seperti minimnya komitmen dari masing-masing instansi sehingga belum terkonsolidasikan secara berkelanjutan.
Lebih lanjut perwakilan dari Direktorat Hukumd dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, Tanti Dian Ruhama, menjelaskan bahwa dalam bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan kerangka regulasi yang digagas berfokus pada dua hal, yakni penataaan regulasi dan pembaruan substansi hukum. Ia menuturkan dalam konteks penyederhanaan regulasi lintas kelembagaan, implementasinya kerap menemui hambatan di lapangan seperti adanya moratorium pembentukan lembaga di lingkup K/L.
Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama, diikuti oleh dua belas peserta dari berbagai K/L seperti tenaga perancang peraturan perundang-undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian PPN/Bappenas.