Pusat Studi dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Koalisi CRM (Crisis Response Mechanism) kembali mengadakan diskusi kelompok terpumpun daring dalam rangka menyusun kajian Pengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi bagi Kelompok Rentan pada Kamis (23/9/2021).
Dalam diskusi kali ini, efektivitas pelindungan kelompok rentan berdasarkan UU HAM dan undang-undang lainnya serta penegakan hukum terhadap kelompok rentan dari diskriminasi masih menjadi topik yang paling banyak dibicarakan selama diskusi.
Menurut Fitri Sumarni dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), secara garis besar UU HAM belum melindungi kelompok muslim Ahmadiyah karena implementasi peraturan lainnya kerap diskriminatif. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang menimbulkan akses diskriminasi hak sipil. Padahal, SKB tersebut hanya melarang menyebarkan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi, dalam praktiknya menjadi alat diskriminasi seperti tidak diberikannya akta nikah bagi komunitas Ahmadiyah, perizinan pembangunan masjid, hingga sertipikat tanah.
“SKB digunakan sebagai rujukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk tidak memberikan akta nikah bagi muslim Ahmadiyah. Ini yang kami sesalkan, implementasi di lapangan sangat diskriminatif,” ujarnya.
Sementara itu, Yasmin Purba dari UNAIDS Indonesia, menilai pengakuan terhadap kelompok rentan di UU HAM perlu diperluas dan ditambah sehingga lebih komprehensif dan memenuhi kompleksitas perkembangan keberagaman. Misal, kerentanan dalam status kesehatan untuk HIV, kerentanan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, atau bisa juga karena kecanduan obat tertentu.
Hal senada disampaikan oleh Ichon dari Koalisi CRM, menurutnya UU HAM belum cukup memadai untuk melindungi kelompok rentan, khususnya dari kelompok minoritas seksual dan gender. UU HAM juga tidak secara eksplisit menyebutkan kelompok minoritas seksual dan gender yang merupakan bagian dari kelompok rentan. Karena tidak disebutkan secara eksplisit, khususnya minoritas seksual dan gender, seringkali undang-undang lain bukannya melengkapi dan memberikan pelindungan, tapi justru menjadi alat legitimasi untuk melakukan diskriminasi, misalnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut Syamsudin dari Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), kerap kali diskriminasi yang terjadi diakibatkan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum. Oleh karena itu, diperlukan rumusan peraturan yang jelas dan tidak multitafsir sehingga meminimalisir peluang diskriminasi akibat kurangnya pemahaman pemahaman aparat penegak hukum. Pelibatan kelompok minoritas dalam merumuskan peraturan dan pengambilan keputusan juga penting untuk mewujudkan peraturan yang inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat.
Nining Elitos dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menambahkan bahwa cara berpikir aparat penegak hukum masih bias gender dan kerap mengabaikan laporan dari kelompok.
“Pelecehan seksual terhadap pekerja yang kami laporkan ke polisi sering ditolak karena dianggap bukan merupakan tindak pidana,” ujarnya.
Diskusi ini merupakan kegiatan kedua dari rangkaian empat diskusi yang mengundang berbagai organisasi pendamping kelompok rentan lintas sektor. Diskusi ini diharapkan dapat mengumpulkan informasi berdasarkan pengalaman dan pengamatan empiris dari organisasi pendamping, terutama terkait penilaian kualitas, ketersediaan, dan kesiapan regulasi kelompok rentan yang sudah ada serta menampung aspirasi dan saran para peserta tentang bentuk regulasi yang ideal untuk mendorong opsi advokasi ke depan.
Hadir dalam diskusi tersebut adalah perwakilan dari berbagai organisasi pendamping kelompok rentan, yaitu perwakilan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Inti Muda Indonesia, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Arus Pelangi, Ahlulbait Indonesia, Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), UNAIDS Indonesia, dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).