Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) menggelar Diskusi Publik Agenda Reformasi Regulasi: Penataan Kelembagaan Regulasi di Daerah pada Selasa (2/4/2019) di Semarang. Hadir sebagai narasumber, yaitu dosen Fakultas Hukum Undip Lita Tyesta Adi Listiya Wardhani, perwakilan Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah Mulyono, Anggota Staf Ahli Kementerian PPN/Bappenas Naomi Helena Tambunan, serta Peneliti PSHK Gita Putri Damayana.
Dalam pemaparan awal, Lita menyebutkan adanya permasalahan regulasi di daerah sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah karena kerap berkaitan dengan persoalan perizinan. Permasalahan birokrasi di tingkat daerah masih terbilang rumit dan panjang akibat persoalan regulasi. Oleh karena itu, banyak Peraturan Daerah (Perda) yang dibatalkan guna efisiensi pelaksanaan teknis tersebut.
“Kunci utama penyebab dari pembatan Perda adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih dan tidak harmonis dengan peraturan perundang-undangan lain” cetus Lita dalam diskusi yang dihadiri oleh akademisi, perwakilan pemerintah daerah, perwakilan organisasi non-pemerintah tersebut.
Lita juga menjelaskan adanya sebab akibat antara praktek otonomi daerah dengan permasalahan regulasi di daerah. “Otonomi daerah kemudian membuat daerah menjadi berlomba-lomba menjadi yang terbaik, namun terkadang melupakan kaidah-kaidah dasar menyusun peraturan perundang-undangan.” tambahnya.
Perda yang pada dasarnya dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru seringkali digunakan untuk sarana mengumpulkan pundi-pundi daerah. Hal ini terbukti melalui data yang ia himpun di mana Perda Retribusi sangat mendominasi.
Senada dengan Lita, Mulyono menyampaikan fakta bahwa Biro Hukum Jawa Tengah telah menargetkan hanya sekitar 150 Perda/Perkada yang bisa dievaluasi, namun realisasinya dapat mencapai 300 Perda/Perkada. Hal ini menyebabkan jumlah perda menjadi sangat banyak. Evaluasi ini merupakan satu bentuk pengawasan preventif pemerintah daerah terhadap Perda selain konsultasi, fasilitasi dan pemberian nomor register. Setiap produk hukum yang dihasilkan harus mengacu pada tertib materi, tertib prosedur, tertib asas materi, dan tertib dalam pelaksanaan. “Namun, egosentrisme lembaga pusat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri membuat pemerintah di tingkat daerah mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas legislasi yang dimiliki,” tambah Mulyono.
Minimnya koordinasi antar Kementerian/Lembaga menyebabkan persoalan regulasi yang ada semakin parah. Naomi menjelaskan, regulasi yang dibuat harus saling mendukung, sebab regulasi menjadi tumpuan perencanaan pembangunan. Solusinya, harus ada pengetatan persyaratan secara administratif sehingga tidak semua rancangan regulasi dapat diterima. Tetapi, kesamaan tingkatan otoritas pengawasan kemudian menyulitkan untuk melakukan pengawasan adanya rancangan perundangan baru. “Untuk itu, Bappenas mengusulkan adanya lembaga pengawas regulasi guna menyelesaikan permasalahan tumpang tindih regulasi,” ujar Naomi.
Menutup pemaparan materi dalam diskusi, Gita Putri Damayana juga turut menggarisbawahi pentingnya kehadiran lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa fungsi tersebut, pengelolaan pemerintahan menjadi tidak maksimal. Padahal pemerintahan yang baik seharusnya mampu menyinergikan perencanaan pembangunan dengan perencanaan pembentukan regulasi. Untuk itu, pembentukan lembaga pengelola regulasi ini memerlukan langkah yang strategis. “Guna menjaga komitmen harmonisasi antar regulasi perlu adanya revisi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta memasukkan agenda reformasi regulasi ke dalam rencana pembangunan nasional maupun daerah,” tandasnya.