Penilaian kinerja pengadilan merupakan faktor penting untuk menjaga kualitas pelayanan publik di pengadilan. Saat ini, terdapat beberapa bentuk penilaian, seperti Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP), Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), audit reguler oleh Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA), serta akreditasi penjaminan mutu pengadilan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) MA. Untuk mengkaji lebih lanjut penilaian kinerja pengadilan itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) MA yang didukung USAID Indonesia dalam skema program USAID CEGAH, melakukan kajian mengenai peluang penerapan International Framework for Court Excellence (IFCE) sebagai indikator penilaian kinerja dalam akreditasi di pengadilan. Setelah menghasilkan laporan penelitian, PSHK dan Pusdiklatkumdil MA melakukan diskusi publik yang mempertemukan pemangku kepentingan terkait untuk menyamakan persepsi dan informasi.
Diskusi publik dibuka dengan pidato kunci dari Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto yang mengingatkan bahwa salah satu misi MA adalah memberikan pelayanan kepada pencari keadilan dengan kredibilitas dan akuntabilitas. Sunarto menyatakan, “Dalam menyelesaikan permasalahan kinerja pengadilan, dibutuhkan bukan hanya pendekatan normatif, tetapi juga kultural dan spiritual.” MA berjanji siap bekerja sama dengan semua pihak untuk meningkatkan kinerja pengadilan dalam mewujudkan Indonesian Court Performance Excellent (IPCE). Dalam diskusi yang digelar pada Kamis, 24 Agustus 2017 itu, Kepala Bawas MA, Nugroho Setiadji, menjelaskan fungsi badan yang ia pimpin dalam mengawasi pelaksanaan tugas di MA dan pengadilan di seluruh lingkungan badan peradilan. Pengawasan itu dilakukan secara rutin terhadap 909 satuan kerja di seluruh Indonesia. Ruang lingkup pengawasan Bawas terkait dengan manajemen peradilan, administrasi perkara, administrasi persidangan, administrasi umum, dan pelayanan publik. Hasil pengawasan disertai rekomendasi kemudian disampaikan kepada para pemimpinan dan direktur jenderal badan peradilan masing-masing.
Sementara itu, Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Badilum MA, Wahyudin, menegaskan bahwa akreditasi di Badilum merupakan respons untuk menciptakan pembinaan yang inovatif, terstruktur, sistemik dan berkelanjutan. Badilum memformulasikan akreditasi dengan mengacu pada cetak biru MA dan standar operasional MA, serta mengadopsi kosep-konsep dalam International Organization for Standardization (ISO), peraturan tentang reformasi birokrasi, dan IFCE. Sampai saat ini, Badilum telah melakukan akreditasi terhadap sebanyak 24 Pengadilan Tinggi (PT) dan 167 Pengadilan Negeri (PN), sedangkan 6 PT dan 185 PN belum terakreditasi. Badilum menargetkan seluruh PT dan PN telah terakreditasi pada 2018.
Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, yang juga hadir dalam diskusi, menanggapi penilaian kinerja di pengadilan. Prahesti menyarankan perlu dibangunnya mekanisme kerja bersama antara Bawas, Tim Reformasi Birokrasi MA, dan badan-badan peradilan untuk menghindari tumpang tindih penilaian. Penyampaian implementasi akreditasi ke unit lain di MA juga penting untuk mencapai knowledge-based sharing. Prahesti juga menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan, diperlukan pula penyusunan aksi lanjutan dengan membuat portofolio setiap satuan kerja pengadilan.
PSHK dan Puslitbang menyadari penilaian kinerja merupakan instrumen yang urgen untuk mengukur capaian pengadilan, sekaligus menjadi bahan untuk evaluasi dan perbaikan. Dalam paparannya, Peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti, menjelaskan bahwa penelitian terkait penerapan IFCE ini menggunakan beberapa metodologi, antara lain, kajian literatur, penelusuran peraturan, wawancara, dan diskusi kelompok terfokus atau focused group discussion. Hasil kajian menunjukkan bahwa IFCE telah diadopsi di Indonesia melalui akreditasi penjaminan mutu oleh Ditjen Badilum. Namun, masih ditemukan beberapa indikator checklist akreditasi yang dianggap terlalu rinci dan berulang. Ini merupakan konsekuensi banyaknya kerangka yang diadopsi oleh Badilum dalam checklist akreditasi. Selain itu, juga ditemukan indikator penilaian kinerja pengadilan, seperti mengenai jangka waktu penyelesaian perkara di pengadilan, justru dipengaruhi oleh pihak-pihak di luar pengadilan. Dalam praktik, terungkap pula bahwa akreditasi perlu mengakomodasi keterbatasan kemampuan pengadilan di berbagai daerah yang berbeda-beda. Tim peneliti merekomendasikan Ditjen Badilum, Bawas, Kemenpan-RB, dan Bappenas untuk mengintegrasikan berbagai penilaian kinerja pengadilan yang mereka miliki. Penting pula untuk mensosialisasikan pelaksanaan dan dampak akreditasi kepada masyarakat, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk melaporkan keberlanjutan implementasi akreditasi. Secara keseluruhan, tim peneliti mengapresiasi pelaksanaan akreditasi, bahkan mendukung agar akreditasi diterapkan pada seluruh lingkungan peradilan.