Pada Maret 2021 lalu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Pemerintah telah sepakat mengeluarkan Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau Revisi UU Pemilu dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2021. Sejak saat itu, belum ada lagi pembahasan terkait upaya memasukkan kembali Revisi UU Pemilu ke dalam Prolegnas 2022 yang lalu maupun Prolegnas 2023 yang akan datang.
Meskipun Pemilu 2019 yang lalu secara luas diakui kredibel, masih banyak pengaturan dalam UU Pemilu yang perlu dievaluasi. Beberapa di antaranya ialah implementasi hak memilih dan dipilih, isu penggunaan teknologi dalam Pemilu, aksesibilitas bagi kelompok rentan, kampanye di media sosial, perbaikan tata kelola penyelenggara Pemilu, dan isu lainnya yang perlu dievaluasi dan dilakukan usulan untuk diperbaiki.
Menyikapi hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun bertajuk Evaluasi Implementasi dan Urgensi Revisi UU Pemilu pada 7 dan 11 November 2022 secara daring. Diskusi tersebut bertujuan untuk membahas urgensi revisi UU Pemilu dalam kerangka reformasi hukum Pemilu, sekaligus memberikan masukan dan catatan terkait dengan implementasi dan pemetaan ketentuan bermasalah dalam UU Pemilu. Kegiatan ini melibatkan 15 perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan akademisi yang selama ini mendorong dan membantu pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu dalam mereformasi hukum Pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menuturkan bahwa terdapat dua refleksi dari penyelenggaraan Pemilu 2019 yakni meningkatnya suara tidak sah dan meningkatnya jumah orang yang tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ia menilai, jika ingin merevisi UU Pemilu atau membentuk Perppu Pemilu, Pemerintah dan DPR harus memperhatikan beban kerja dan dampak bagi pemilih akibat kebijakan pemilu serentak pada Pemilu 2019 dan menjabarkan dengan rinci ketentuan khusus mengenai kampanye di media sosial. “Terkait dengan opsi penyusunan Perpu, pemerintah harus betul-betul memperhatikan materi muatannya harus sesuai dengan prinsip kekosongan hukum dan kegentingan memaksa terkait dengan Pemilu 2024, ungkap Khoirunnisa.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Arief Budiman, menilai upaya untuk merevisi UU Pemilu sudah terlambat karena tahapan pemilu saat ini sudah berjalan. Meski begitu, Arief, yang menjadi Ketua KPU RI periode 2017-2022, menilai ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika hendak melakukan revisi UU Pemilu, antara lain revisi pasal mengenai penataan daerah pemilihan karena saat ini terdapat Daerah Otonom Baru (DOB) yang berada di Papua dan memasukkan regulasi tentang pengecualian bencana alam dan non-alam dalam UU Pemilu. ”Pengaturan penggunaan kampanye di media sosial juga diperlukan untuk menghindari bersilewerannya berita-berita hoaks dan disinformasi bagi pemilih,” tambah Arief.
Sementara itu, Heppy Sebayang, Ketua Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUA Disabilitas), menyoroti aksesibilitas dan hak memilih bagi penyandang disabilitas. Menurutnya, alat-alat perlengkapan Pemilu untuk membantu tunanetra dalam melaksanakan hak memilih perlu ditegaskan dalam revisi UU Pemilu. “Alat bantu ini juga sangat berguna untuk mencegah manipulasi suara penyandang disabilitas ketika pencoblosan,” ungkap Heppy.
Dalam sesi kedua diskusi kelompok terpumpun, peneliti kepemiluan, Ihsan Maulana, menyampaikan tiga problem utama dalam penegakan hukum pemilu yang disebabkan ketidakjelasan norma di dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Pertama¸ pengaturan berbeda dalam penegakan hukum pemilu di UU Pemilu dan Pilkada. Kedua, kepatuhan terhadap produk hukum/putusan/rekomendasi Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu. Contohnya seperti kekeliruan dalam menyebutkan putusan atau rekomendasi Bawaslu yang menimbulkan implikasi hukum pemilu. Terakhir, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Huuriyah, memaparkan dua isu krusial yang harus diagendakan dalam revisi UU Pemilu, yakni memastikan aturan pemilu yang berfokus pada efektivitas teknis pemilu yang mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan perbaikan sistem dengan rekonstruksi ulang beban pemilu dengan kapasitas penyelenggaraan pemilu melalui revisi UU Partai Politik yang tidak dapat dipisahkan dari UU Pemilu dan Pemilukada. “Perbaikan akuntabilitas pembiayaan pemilu juga aspek penting yang harus diagendakan dalam revisi UU Pemilu,” ungkap Huuriyah.
Pendiri Komite Independen Sadar Pemilu, Azka Abdi Amrurobbi, menyoroti hal yang senada dengan Huuriyah. Ia menyampaikan perlunya mekanisme baru dan khusus mengenai pelaporan dan audit dana kampanye untuk memastikan kesetaraan antar kandidat peserta pemilu guna mencegah potensi korupsi akibat tingginya biaya pemilu dan pilkada serta menjaga integritas penyelenggaraan pemilu. “Dalam UU saat ini hanya terbatas pada jenis pelaporan kepatuhan dana kampanye, sedangkan untuk validasinya masih belum ada aturan teknis yang mengatur,” papar Azka.