Berbeda dengan sektor jasa keuangan perbankan, sektor pasar modal mempunyai karakteristik tersendiri terkait dengan transaksi keuangan. Kehadiran teknologi transaksi yang bersifat scriptless sejak lama membuat kepemilikan saham di pasar modal tidak lagi berbentuk sertifikat cetak. Hal itu memiliki konsekuensi bahwa kepemilikan saham hanya tercatat dalam daftar rekening umum yang dikelola oleh lembaga kustodian termasuk perusahaan-perusahaan sekuritas di mana investor membeli dan menjual saham-sahamnya. Pemindahan kepemilikan dapat berlangsung dalam waktu cepat sama halnya dengan pemindahbukuan antar rekening bank.
Untuk melakukan pencegahan dan penindakan atas tindak pidana pencucian uang dan juga tindak pidana korupsi tentu saja dibutuhkan pemahaman dan pengetahuan yang khusus atas industri pasar modal. Dengan pemahaman ini, diharapkan dapat diketahui bagaimana sesungguhnya proses transaksi Efek di pasar modal sejak mulai penawaran umum, pencatatan di bursa, perdagangannya, hingga kemudian Efek tersebut dicabut dan dihapus dari bursa.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan didukung Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) mengelar Focused Group Discussion untuk menyusun Panduan Teknis Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pemulihan Aset di Pasar Modal, di Jakarta, Rabu (20/12).
Diskusi dibuka dengan paparan Muhammad Faiz Aziz, Peneliti PSHK, yang menjelaskan bahwa Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. Sementara, Efek merupakan Surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif atas Efek.
Muhammad Faiz Aziz juga menuturkan bahwa basis utama Hukum Pasar Modal adalah perjanjian. Oleh karena itu terdapat beberapa larangan dalam melakukan perdagangan efek seperti penipuan (Fraud), manipulasi pasar (Market Manipulation) dan perdagangan orang dalam (Insider trading).
Pasar modal bisa saja digunakan sebagai tempat pencucian uang” ujar Yunus Husein, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera melanjutkan diskusi. Yunus Husein menjabarkan lebih lanjut bahwa terdapat beberapa tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu ketidakterbukaan dalam struktur bisnis (Concealment within business structures), menyalahgunakan bisnis orang lain (Misuse of legitimate bisnis), menggunakan identitas palsu (Use of false identities), memanfaatkan celah hukum di berbagai negara (Exploiting internasional jurisdiction issues), menggunakan aset-aset tanpa nama (Use of anonymous aset types) dan perbuatan lain seperti menyimpan di Save Deposit Box.
Yunus Husein juga menilai bahwa saat ini terdapat kondisi yang kondusif di Indonesia untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, yaitu Indonesia masih menganut devisa bebas sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar sehingga keluar masuk uang tidak dibatasi, kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang belum jelas dan belum maksimal, belum adanya aturan yang memadai seperti tentang beneficial owner (Baru akan ada dalam bentuk perpres) dan belum terdapat identitas tunggal sehingga ditemukan masih banyak identitas palsu untuk membuka rekening.