Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Filantropi Indonesia sedang melakukan riset terkait insentif pajak untuk kegiatan filantropi. Tim peneliti baru saja menyelesaikan rangkaian Focus Group Discussion (FGD)—yang didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI)—guna memperoleh masukan dari berbagai pihak. FGD I telah dilakukan pada Januari 2017 dengan tujuan mendapatkan gambaran mendasar terkait permasalahan dalam implementasi kebijakan insentif pajak untuk kegiatan filantropi di Indonesia. Sementara itu, pada FGD II yang dilaksanakan pada Senin, 8 Mei 2017, tim peneliti memaparkan draf awal penelitian sebagai hasil temuan dengan memperbandingan implementasi kebijakan insentif pajak untuk kegiatan filantropi di beberapa negara.
Dalam pemaparannya pada FGD II, tim peneliti PSHK yang diwakili M. Faiz Aziz menjabarkan dasar hukum pemberlakuan insentif pajak untuk kegiatan filantropi. Salah satu hal menarik yang mendapatkan sorotan dalam pemaparan itu adalah perihal subjek hukum yang dapat menerima insentif pajak. Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, menjabarkan bahwa salah satu permasalahan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu ketidakjelasan pihak yang dapat menerima tax deduction, apakah berlaku untuk perusahaan saja atau juga termasuk individu.
Selain itu, tim peneliti PSHK lainnya, Ibnu Hakam Musais, memaparkan lima pokok permasalahan yang ditemui dalam implementasi kebijakan insentif pajak untuk kegiatan filantropi di Indonesia. Pertama, minimnya informasi yang tersedia dan minimya sosialisasi oleh pemerintah. Kedua, pengaturan yang ambigu dan inkonsistensi penegakan hukum pajak. Ketiga, prosedur yang terlalu rumit dan birokratis, sedangkan insentif yang diberikan cenderung kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Keempat, ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Kelima, adanya pembatasan sektor untuk kegiatan filantropi yang memperoleh insentif pajak. Ibnu juga menjabarkan perbandingan kebijakan insentif pajak untuk kegiatan filantropi di dua belas negara. Salah satu yang menarik adalah Singapura dengan penerapan kebijakan double tax deduction, yaitu pemotongan pajak sebesar dua kali lipat dari jumlah sumbangan. Kebijakan double tax deduction itu secara efektif telah meningkatkan besarnya jumlah sumbangan yang diberikan.
Prof. Haula Rosidiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, beranggapan bahwa salah satu wujud kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, yaitu adanya saling dukung untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, penting sekali mengaitkan insentif pajak untuk kegiatan filantropi sebagai wujud dukungan terhadap program pemerintah seperti Sustainable Development Goals (SDGs). Pada prinsipnya, kegiatan filantropi merupakan keikutsertaan publik yang dilakukan secara sukarela untuk turut mempercepat akselerasi kesejahteraan sosial, yang merupakan tugas pemerintah. Dengan bahu-membahu antara pemerintah dan masyarakat, tentunya tugas akan terasa lebih ringan dan lebih cepat tercapai tujuan yang dikehendaki. Namun, tampaknya pemerintah masih perlu berbenah dalam konteks pengaturan kebijakan, terutama dalam merespons besarnya keinginan masyarakat untuk turut-serta membantu. Model pembenahan itu secara bertahap harus mampu mendorong masyarakat, dalam hal ini baik individu maupun perusahaan, agar mau berkontribusi bersama untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.