Perubahan isu global mendorong perkembangan kebijakan publik untuk mendukung ekosistem ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) dalam berbagai bidang yang berkaitan. Perubahan itu meliputi perubahan demografi, perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, digitalisasi dan otomasi, perlambatan produktivitas, dan meningkatnya ketidaksetaraan.
Untuk mengatasi tantangan itu, diperlukan agenda reformasi kebijakan meliputi semua aspek dari kebijakan dan tata kelola Iptekin, termasuk pendanaan, sumber daya manusia, infrastruktur, mekanisme koordinasi, dan measurement. “Pandemi Covid-19 memberi peluang dan kesempatan untuk reformasi kebijakan,” ungkap Prof. Bambang Brodjonegoro yang merupakan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN 2019-2021.
Menerapkan Iptekin dalam aspek kebijakan publik juga memerlukan transisi-multi level. Sebagai contoh, awalnya Jepang menerapkan Iptekin dengan membangun ekosistem untuk memelihara start-up dan kolaborasi di wilayah urban dan rural. Selanjutnya, Jepang memperhatikan implikasi etis, legal, dan sosial serta tahap terakhir menghilangkan disrupsi dengan memperkuat tata pimpinan dan kontrol untuk mengeliminasi duplikasi kebijakan dan mendorong kolaborasi.
Hal tersebut disampaikan dalam The Indonesian Science Technology Innovation (STI) Policy Lecture Series II – 2022: “Iptekin yang Inklusif dan Berkelanjutan” yang diselenggarakan bersama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) secara daring pada Kamis (22/9/2022) lalu. Hadir sebagai narasumber lain adalah Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo, Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman, dan Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi.
Dalam paparannya, Fajri menilai Iptekin wajib menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia, inklusi sosial, dan berkelanjutan. Fajri menilai ada tantangan dalam mewujudkan inklusi sosial dalam Iptekin, antara lain perlunya kepekaan dalam memahami kebutuhan masyarakat rentan membutuhkan tingkat partisipasi tinggi, penggunaan perspektif gender equality, disability, and social inclusion memerlukan pemahaman dan keberpihakan, dan minimnya ketersediaan data sebagai pondasi dalam memahami situasi dan pembentukan kebijakan. “Inklusif bukan sekadar prinsip, tetapi diturunkan sampai kepada kebijakan teknis dan penyediaan fasilitas serta pelayanan yang aksesibel,” ungkap Fajri.
Fajri juga menyoroti sulitnya partisipasi penyandang disabilitas dalam Iptekin. Meski sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas dan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, Fajri menilai kedua aturan tersebut belum maksimal karena hanya fokus pada penggabungan peserta didik penyandang disabilitas dan non-penyandang disabilitas. Menurutnya, peraturan tersebut belum berupaya mengubah perspektif dan dukungan dari lingkungan dan penyelenggara pendidikan.
Oleh karena itu, Fajri mengimbau perlunya evaluasi dan perbaikan pada berbagai peraturan teknis untuk memastikan keterlibatan penyandang disabilitas dalam berbagai bidang. Implementasi perlu fokus pada perubahan perspektif dari mengkhususkan penyandang disabilitas ke mendukung partisipasi penuh penyandang disabilitas secara inklusif.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, Alviani Sabilah bertujuan agar isu-isu Iptekin dapat menjadi pertimbangan utama dalam proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia. Terdiri dari enam diskusi, STI Policy Lecture 2022 diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan berbagai lembaga riset independent di Indonesia yakni Article 33, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan The SMERU Research Institute.