Bidang Studi Dasar-dasar Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan lanjutan seri diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2021 bertajuk “Kata-Kata dalam Hukum: Menilik Aspek Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum” pada Selasa (7/12/2021) secara daring. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yakni Pengajar STH Indonesia Jentera, Anwar Natari dan Rival Ahmad, Ketua YLBHI 2017-2021, Asfinawati, dan Pengajar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Zulfa Sakhiyya. Jalannya diskusi kemudian dipandu oleh Ketua Bidang Studi Dasar-dasar Ilmu Hukum STH Indonesia, Rizky Argama.
Hukum, terlebih pada ranah publik, memang tak terlepas dari peran vital bahasa. Kebijakan, mulai dari proses formulasi hingga tataran implementasi, dipengaruhi oleh bahasa—baik bahasa yang digunakan oleh pembentuk maupun pelaksana kebijakan. Tujuan dibentuknya kebijakan dapat terlihat dari bagaimana pemilihan kata dilakukan. Dari bahasa, arah kebijakan, dan politik hukum, suatu pemerintahan dapat diketahui dan dipahami.
Rival menjelaskan bahwa selayaknya teks hukum tidak hanya dipahami sebatas dalam pendekatan hukum, tetapi juga pendekatan interdisiplin (legal semiotic). Pemahaman tersebut didasarkan pada fakta bahwa terdapat relasi yang erat antara bahasa dan kekuasaan yang kemudian menghasilkan produk hukum dan kebijakan. Sejarah mencatat, kekuasaan menempatkan bahasa sebagai salah satu strategi guna mengarahkan cara pandang dan mengupayakan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum hingga kekuasaan. Senada dengan Rival, Zulfa menambahkan bahwa bahasa memiliki peranan tidak hanya sebatas bacaan perihal kebijakan, tetapi juga pada upaya pembentukan kultur.
Para narasumber kemudian menjabarkan contoh sejarah yang hampir sama yakni bagaimana Orde Baru menempatkan bahasa sebagai alat untuk menginternalisasi kekuasaan pada masyarakat. Orde Baru berperan menghilangkan beberapa kata yang kerap digunakan pada Orde Lama seperti sosialisme dan manifesto, serta mengubah ejaan lama dan menggantinya dengan ejaan baru yang disempurnakan. Selain itu, Orde Baru juga memodifikasi beberapa kata yang memiliki arti tersendiri pada tatanan masyarakat, seperti buruh yang diubah menjadi karyawan dan proletar yang diganti dengan kata miskin. Rival menuturkan bahwa upaya tersebut bertujuan agar masyarakat memiliki imajinasi tentang Orde Baru, mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi, dan alat untuk mengimplementasikan perubahan kemasyarakatan (social enginering).
Apabila dicermati lebih lanjut, langkah penggunaan bahasa sebagai upaya politik hukum masih terus berkembang hingga era reformasi hari ini. Bahasa kerap digunakan secara kabur atau multi-definisi, terutama dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi bias dan digunakan secara tidak konsisten. Dalam proses legislasi misalnya, terdapat beberapa pembahasaan yang termuat namun dikaburkan, tetapi kemudian dimunculkan dalam peraturan turunan. Selain itu juga terdapat praktik pembahasaan yang sebenarnya merujuk pada satu hal tertentu, namun dikomunikasikan kepada publik dalam pengertian yang lain.
Asfinawati memberikan contoh atas fenomena tersebut yakni ketika bahasa sengaja dibuat bias, misalnya pada kasus penghinaan terhadap pihak tertentu yang kemudian dipersepsikan sebagai ujaran kebencian. Padahal menurutnya vonis tersebut perlu dijabarkan secara lebih ketat dan adil. Ujaran kebencian yang termuat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik adalah segala tindakan yang memantik kebencian pada bangsa, ras, dan agama tertentu, sehingga menjadi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan. Asfinawati menambahkan banyak kasus yang terjadi hari ini, seseorang hanya menyampaikan kritik pada pihak tertentu, namun kemudian secara represif dikenakan pada pasal ujaran kebencian.
Merespon hal tersebut, Anwar kemudian menjelaskan urgensi lembaga khusus yang fokus membangun bahasa terutama pada bidang hukum. Anwar kemudian menyadur pesan penting Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa bahasa memiliki peran utama dalam pembentukan hukum. Inisiatif tersebut juga sebagai upaya untuk menetralisir fungsi bahasa, sehingga tidak dijadikan alat untuk mencurangi produk hukum dan kebijakan guna melanggengkan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2021, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Diskusi ini juga dapat disaksikan ulang di kanal YouTube PSHK Indonesia.