Presiden Joko Widodo belum lama ini menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga (Perpres 68/2021). Dalam aturan yang berlaku mulai 6 Agustus 2021 itu, setiap rancangan regulasi yang diprakarsai oleh kementerian/lembaga harus mendapat persetujuan lebih dulu dari presiden sebelum diberlakukan.
Kriteria regulasi yang ke depannya wajib mendapat persetujuan presiden adalah rancangan peraturan: (a) yang memiliki dampak luas bagi masyarakat, (b) bersifat strategis—berpengaruh pada program prioritas Presiden, target Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Kerja Pemerintah; serta yang (c) bersifat lintas sektor kementerian lembaga.
Menurut Wakil Sekretaris Kabinet (Waseskab), Fadlansyah Lubis, terbitnya Perpres 68/2021 dilandasi karena banyak peraturan menteri (permen)/peraturan kepala lembaga (perkalaga) yang materi pengaturannya tumpang tindih dan tidak selaras dengan kebijakan presiden. Oleh karena itu, presiden merasa perlu untuk mengetahui materi kebijakan yang memiliki dampak luas di masyarakat.
Hal tersebut disampaikan webinar bertajuk “Kewajiban Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Kementerian/Lembaga: Apa Dampaknya terhadap Reformasi Regulasi?” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) secara daring pada Rabu (18/8/2021).
Terbitnya Perpres 68/2021 juga dikhawatirkan menambah banyaknya pintu yang harus dilalui dalam membuat regulasi. Selama ini tugas harmonisasi, evaluasi, dan analisis rancangan produk regulasi eksekutif diserahkan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM. BPHN sendiri sampai saat ini belum berhasil membenahi tunggakan hutang peraturannya lantaran kerap terkendala tarik-menarik kewenangan perencanaan regulasi dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Belum lagi proses birokrasi sejenis di Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet yang harus dilewati sebelum sebuah rancangan peraturan bisa tiba di meja presiden.
Menanggapi hal tersebut, Fadlansyah memastikan bahwa Perpres 68/2021 tidak akan memunculkan birokrasi baru. Sebaliknya, Perpres 68/2021 diharapkan dapat menjaga agar peraturan lintas sektor tidak terjadi tarik menarik kepentingan antar kementerian/lembaga.
Sementara itu, peneliti PSHK, Muhammad Nur Sholikin, menuturkan bahwa tiga kriteria yang diatur dalam Perpres 68/2021 masih abstrak sehingga menimbulkan penafsiran yang luas. Peraturan ini juga akan menambah panjang birokrasi peraturan perundang-undangan dan menimbulkan kompleksitas dalam alur penyusunan permen. Perpres 68/2021 juga bukan langkah prioritas dalam reformasi regulasi dan justru akan berdampak pada aspek kelembagaan peraturan perundang-undangan yang semakin rumit.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif, mengatakan penyelesaian hiper-regulasi tidak dengan menambah prosedur, melainkan dapat diatasi dengan mengembalikan porsi dan kewenangan pejabat sesuai dengan konstitusionalisme. Penambahan prosedur melalui oleh instansi yang tidak sesuai dengan sistem, malah memperumit persoalan. Menurutnya, jika ada rancangan peraturan yang lintas sektor atau memiliki dampak luas bagi masyarakat dapat ditegaskan melalui peraturan presiden.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Wicipto Setiadi, dalam paparannya menuturkan bahwa Perpres 68/2021 akan memperpanjang proses birokrasi dalam penyusunan permen dan perkalaga. Menurutnya, jika telah terdapat perintah pendelegasian dari PP/Perpres, persetujuan presiden tidak lagi dibutuhkan.
Menurut Wicipto, yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan reformasi regulasi adalah kualitas regulasi harus baik dan kuantitasnya tidak terlalu banyak. Terkait kelembagaan, seharusnya tidak terlalu banyak lembaga yang mengurus, cukup satu otoritas tunggal. Terakhir, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan teknologi informasi yang kuat.
Diskusi dimoderatori oleh peneliti PSHK, Antoni Putra, diikuti oleh lebih dari seratus peserta dengan berbagai latar belakang seperti dosen, mahasiswa, ataupun aparat pemerintah. Diskusi ini juga dapat disaksikan ulang di kanal YouTube PSHK Indonesia.