Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menggelar diskusi publik bertajuk “Strengthening the Southeast Asian Network to Promote Human Rights and Expansion of Civic Space” pada Jumat (25/07/2025). Diskusi ini bertujuan mendorong kolaborasi sekaligus memperkuat wacana mengenai kondisi ruang sipil yang semakin terancam di berbagai negara Asia Tenggara.
Diskusi dibuka oleh Alviani Sabillah, peneliti PSHK, yang memaparkan temuan Civicus 2024 bahwa 72% populasi dunia kini hidup di bawah rezim yang membatasi kebebasan sipil. Kondisi tersebut sejalan dengan laporan Freedom House 2025 yang menempatkan Indonesia dalam kategori partly free, menunjukkan adanya stagnasi demokrasi. Menurut Alviani, pembatasan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul semakin menekan organisasi masyarakat sipil serta memicu kriminalisasi terhadap pembela HAM.
Alviani mengidentifikasi beberapa regulasi yang paling berpengaruh terhadap penyempitan ruang sipil di Indonesia, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—baik versi lama maupun yang baru—serta Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Alviani juga menyoroti kecenderungan antidemokratis dalam proses legislasi, seperti pembahasan undang-undang yang berlangsung kilat, minim partisipasi publik bermakna, dan kurang transparan. Riset PSHK dan SAFEnet menunjukkan bahwa dari 13 undang-undang terkait hak digital, sebagian besar justru mempersempit kebebasan berekspresi dan ruang partisipasi masyarakat.
Pembahasan kemudian dilanjutkan oleh Rizky Fariza, Staf Advokasi Internasional KontraS, yang menggambarkan pola represi yang terjadi di lapangan. Ia menjelaskan bahwa lembaga internasional seperti Uni Eropa dan PBB telah menyoroti kemunduran kebebasan sipil di Indonesia. KontraS, kata Rizky, mengidentifikasi pola-pola represi seperti penggunaan ormas dan kelompok Pam Swakarsa untuk membubarkan kegiatan publik. Sejak 2020, KontraS mencatat lebih dari 19 peristiwa pembubaran paksa yang sering menyasar kritik terhadap pemerintah, termasuk dalam forum internasional. Dalam satu tahun terakhir, KontraS juga mendokumentasikan lebih dari 89 insiden pelanggaran kebebasan sipil oleh kepolisian, dengan lebih dari seribu orang menjadi korban luka atau penangkapan. Selain itu, kriminalisasi dan serangan digital melalui UU ITE masih terus berulang, terutama terhadap aktivis dan jurnalis.
Perspektif lokal disampaikan oleh Candra Mertha, Direktur Program Bumi Setara, yang menggunakan Bali sebagai contoh untuk melihat dinamika ruang sipil. Ia menyebut Bali memiliki ekosistem masyarakat sipil yang kuat, namun praktik penyempitan ruang sipil masih terus terjadi. Salah satunya terlihat dalam pembubaran paksa acara People’s Water Forum oleh kelompok ormas. Tantangan lain yang kerap muncul meliputi pembatasan izin berkumpul, intimidasi dan pengawasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat adat, serta penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik. Meski demikian, Candra melihat potensi perlawanan melalui kearifan lokal seperti Tri Hita Karana, gerakan anak muda, artivism (aktivisme berbasis seni), serta penguatan hukum adat (awik-awik) untuk menjaga ruang demokrasi berbasis nilai budaya Bali.
Sebagai penutup, Khairil Zhafri dari EngageMedia memaparkan kondisi yang terjadi di kawasan Asia Pasifik. Menurutnya, banyak negara kini menghadapi gelombang otoritarianisme digital, di mana kontrol terhadap ruang sipil terjadi melalui infrastruktur teknologi. Ia mengenalkan konsep Digital Infrastructural Violence atau Kekerasan Infrastruktur Digital—bahaya yang muncul dari desain dan tata kelola sistem digital itu sendiri. Bentuknya bisa aktif, seperti penargetan menggunakan spyware Pegasus terhadap aktivis di Thailand, maupun pasif melalui kelalaian desain, misalnya tidak tersedianya fitur keamanan dalam bahasa lokal atau aplikasi yang tidak dapat diakses dengan koneksi internet lambat.
Sebagai solusi, Khairil menawarkan gagasan “Subversi Infrastruktur Digital Kolektif” sebagai upaya perlawanan. Ia mendorong masyarakat sipil tidak hanya menggunakan teknologi secara aman, tetapi juga membangun dan memiliki infrastruktur digital alternatif, mulai dari platform penyimpanan data terdesentralisasi hingga penyedia layanan internet berbasis komunitas. Langkah ini, menurutnya, penting untuk merebut kembali kedaulatan digital dari kontrol negara maupun korporasi.
Diskusi yang dimoderatori oleh Cikal Restu Syiffawidiyana dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.
