Sejak 1945—2014, terdapat 1.581 Undang-Undang yang dihasilkan, demikian kata Bayu Dwi Anggono selaku narasumber diskusi internal PSHK. Selain capaian kuantitatif, Bayu turut memaparkan pula kondisi faktual kualitas undang-undang di Indonesia. Selama pengujian undang-undang periode 2003—2015, Mahkamah Konstitusi telah mengadili 921 perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dari keseluruhan permohonan judicial review, 202 perkara atau 24% di antaranya dikabulkan. DPD juga mempublikasikan 84 undang-undang yang bermasalah, antara lain UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Sementara itu, gerakan “Jihad Konstitusi” yang dilakukan oleh Muhammadiyah menemukan masih ada sekitar 115 undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Materi yang diajukan Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (i)kondisi faktual kualitas undang-undang di Indonesia, (ii)tantangan pembentukan undang-undang, dan (iii)rekomendasi untuk menghadapi tantangan pembentukan undang-undang. Pertanyaan pemantik yang diajukan kemudian adalah apakah semua hal perlu diatur (oleh dan selevel) undang-undang? Sebagai contoh, dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 151, disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun, justru muncul UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Itu adalah gejala atau peristiwa hukum yang masih sering terjadi: tidak ada batasan materi muatan dalam pembentukan undang-undang.
Sebagai temuan terkait materi muatan 160 RUU Prolegnas 2015, Bayu mengidentifikasi setidaknya terdapat 4 (empat) kelompok. Pertama, tidak seharusnya materi muatan diatur dengan UU dan lebih tepat diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah UU (contoh: RUU Ketahanan Keluarga, RUU Kepalangmerahan, dan RUU Sistem Perbukuan). Kedua, mengingat sudah terdapat UU yang mengatur pokok materi tertentu, maka materi RUU ini lebih tepat dijadikan materi peraturan pelaksanaan (PP atau Perpres), di antaranya: RUU BUMD, RUU Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dan RUU Pengembangan Pembangunan Daerah Kepulauan. Ketiga, RUU yang sulit dibayangkan substansi dan luas jangkauan pengaturannya (contoh: RUU Etika Penyelenggara Negara/RUU Etika Lembaga Perwakilan, RUU Partisipasi Masyarakat, dan RUU Penghinaan Dalam Persidangan). Keempat, RUU yang apabila penyusunannya tidak memperhatikan ketentuan HAM dalam konstitusi dan terlalu condong pada kepentingan kelompok tertentu sehingga berpotensi melanggar hak sipil, politik, ekonomi, dan budaya serta penghormatan kebhinnekaan (contoh: UU Rahasia Negara, RUU Keamanan Nasional, dan RUU Pertembakauan).
Penulis: Amalia Puri Handayani
Editor: Ronald Rofiandri