Komunisme dan Islam dilihat sebagai dua hal yang saling cocok (compatible) dari berbagai perspektif. Itulah yang dipaparkan oleh Li Hongxuan, seorang Kandidat Doktor dari University of Washington, Amerika Serikat, yang mempresentasikan bagian awal disertasinya yang diberi judul utama Crescent as Sickle (Sabit sebagai Arit). Li mengakhiri presentasinya dengan sebuah konklusi bahwa terdapat lanskap yang kompleks, terutama pada 1915—1927, yang mendukung kesalingcocokan nilai-nilai komunisme dan Islam. Walau bukan merupakan pandangan pribadi Li, konklusi itulah yang ia dapatkan ketika menjalankan penelitian disertasinya yang disampaikan dalam diskusi internal PSHK pada Rabu, 27 Juli 2016 di Kampus STH Indonesia Jentera.
Pernyataan tersebut dapat dikemukakan oleh Li berdasarkan hasil penelitiannya terhadap beberapa tokoh yang dipandang sebagai penganut paham komunisme sekaligus agama Islam. Mereka adalah Haji Misbach, Tan Malaka, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Soekarno. Li juga menjelaskan konsep pergerakan yang menurutnya memiliki spektrum pemaknaan yang luas pada masa itu; dapat didasari semangat antikolonialisme, semangat nasionalisme, dan tidak selalu merupakan sekadar perjuangan yang bersifat kekerasan. Dalam penelitiannya, Li melihat bahwa organisasi Sarekat Islam justru melakukan pergerakannya dengan merangkul pihak Belanda sebagai mitra. Li juga memaparkan Sarekat Islam yang menilai bahwa berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda membawa efek baik bagi masyarakat Indonesia. Hal itu terbukti dari munculnya berbagai organisasi kemasyarakatan yang dipandang Li sebagai bentuk “pendewasaan” politik.
Pertanyaan penelitian Li adalah “apa yang mendasari adanya penyesuaian (conciliation) antara Islam dan Komunisme?”. Ia melihat bahwa pada saat itu, penerapan paham komunisme merupakan cara yang paling efektif dalam rangka mencapai tujuan-tujuan Islam; menciptakan masyarakat yang adil dan setara ketika para Muslim Hindia-Belanda tidak mengalami eksploitasi. Islam dan komunisme dipandang memiliki semangat konfrontatif yang sama terhadap imperialisme. Hal itu membuat Li yakin bahwa adanya wacana penyesuaian antara keduanya memang ada kesalingcocokan dan sangat ada kemungkinan saling mempengaruhi. Adapun, penelitian etnografis Michael C. Williams memperlihatkan bahwa komunisme dan Islam berinteraksi dalam hubungan yang pragmatis. Williams menyatakan bahwa dengan banyaknya tokoh komunisme yang dipenjarakan pada saat itu, para penganut komunisme mulai merangkul kiai lokal dalam upaya menggalang dukungan terhadap gerakan mereka. (AW)
Penulis: Amira Waworuntu
Editor: Amalia Puri Handayani