Pada Kamis, 11 Februari 2016, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengadakan konferensi pers yang berlokasi di Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev. Kegiatan itu diadakan dalam rangka menyampaikan gagasan koalisi mengenai alasan mengapa Undang-Undang KPK (UU KPK) sebenarnya tidak perlu direvisi saat ini. Lola Easter (Indonesia Corruption Watch) membuka acara dan bertindak sebagai moderator dengan Bivitri Susanti (pendiri PSHK dan STH Indonesia Jentera) sebagai narasumber utama,
“Frase kunci dari proses legislasi yang saat ini sedang terjadi adalah ‘politik legislasi’,” ujar Bivitri. Ia mengajak kita untuk mempertanyakan apa di balik politik legislasi RUU KPK. Menurut pengamatan para anggota koalisi, hal yang terjadi adalah politik legislasi yang tidak wajar karena dilandasi oleh rasa ketidaksukaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal proses legislasi tidak semestinya dilakukan semata karena kepentingan politik partai-partai tertentu, terutama yang merasa terganggu oleh kehadiran KPK. “Ketika membuat UU ataupun merevisinya, harus mengacu pada suatu kepentingan politik legislasi; urgensinya apa? Kami tidak melihat urgensi apapun dalam rencana revisi UU KPK ini,” Bivitri menambahkan.
Koalisi menilai bahwa politik legislasi revisi UU KPK ini sekadar berlandaskan ketidaksukaan dengan berdasarkan 3 hal. Pertama bahwa tidak ada masalah konstitusional dengan desain KPK, yang dapat dilihat parameternya di Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, KPK masih efektif dalam menjalani tugas-tugasnya sampai saat ini, dan ketiga adalah bahwa revisi UU yang diwarnai ketidaksukaan akan mengacaukan sistem peradilan pidana terpadu ke depannya.
Sebelum melakukan revisi UU KPK, kita perlu terlebih dahulu membenahi sistem yang sudah mencakup Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Mahkamah Agung, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian. Saat ini, DPR dianjurkan untuk tidak mengesahkan revisi UU KPK; harus menentukan politik legislasinya terlebih dahulu. Lalu, perlu diingat kembali peran Presiden dalam isu ini; bahwa suatu Undang-Undang membutuhkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20. Ketika DPR dinilai menyalahgunakan otoritasnya dalam perihal legislasi, Presiden lah yang harus bersikap rasional. (AW)
Simak lebih lanjut video