Salah satu perwujudan transformasi struktural pada periode awal pasca-Reformasi 1998 adalah bermunculannya lembaga-lembaga regulator independen. Keberadaan lembaga independen di Indonesia pada mulanya didesain dengan dua pertimbangan, yaitu untuk mengoreksi perilaku korup pada era Soeharto dan untuk menciptakan kebijakan yang kredibel. Hal itu disampaikan oleh Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Giri Ahmad Taufik dalam webinar bertema “Posisi Mahkamah Konstitusi terhadap Lembaga Regulator Independen dalam Struktur Ketatanegaraan” pada Jumat (8/5/2020).
Tema diskusi itu diangkat dari salah satu bab disertasi Giri yang baru saja diselesaikan pada program doktoral di Griffith University, Australia, bulan Maret lalu. Giri, yang juga Pengajar STH Indonesia Jentera, menjelaskan bahwa lembaga regulator independen merupakan lembaga-lembaga khusus yang memiliki mandat untuk membuat kebijakan, membentuk regulasi, dan mengawasi sektor spesifik, baik dalam bidang ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Pada sektor ekonomi, keberadaan lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan BPH Migas/SKK Migas, dianggap telah mengganggu kelompok-kelompok politik dan ekonomi yang digantikan perannya oleh lembaga baru tersebut.
Giri menjelaskan, situasi tersebut memunculkan perlawanan terhadap keberadaan lembaga-lembaga independen, dan salah satu ruang perlawanan yang kerap digunakan ialah pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa secara teoritik posisi MK terhadap lembaga-lembaga independen seharusnya menjadi instrument of restrain yang melindungi dan/atau bahkan memperkuat keberadaan lembaga-lembaga independen. Fakta menunjukkan sebaliknya: beberapa Putusan MK justru melemahkan atau bahkan menghilangkan eksistensi dari lembaga Independen, misalnya dalam kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BP Migas, dan KPPU.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dr. Zainal Arifin Mochtar memiliki pendapat senada. Menurutnya, lembaga negara independen di Indonesia memang lahir dari ketidakpercayaan kepada rezim penguasa. Pada tahun 1990-an, banyak negara yang mencantumkan lembaga independen dalam kostitusinya dan kebanyakan negara tersebut adalah negara yang mengalami demokratisasi gelombang ketiga, termasuk Indonesia.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri Damayana itu, muncul pula gagasan untuk menghadirkan undang-undang khusus yang mengatur lembaga negara independen sebagaimana disampaikan Zainal. Lebih dari itu, Zainal juga menyampaikan bahwa kritik terhadap MK belakangan ini terutama menyoroti sejumlah Putusan MK yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan politis. Ia mencotohkan, Putusan MK yang menyatakan bahwa KPK merupakan rumpun dari eksekutif adalah putusan yang tidak lahir dari cara pandang hukum. (Nab)