Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi menjadi narasumber dalam Diskusi Kelompok Terpumpun bertema Penyusunan Kajian atas Konsep Politik Hukum Legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Tahun 2022 pada Kamis (27/5/2021) di Jakarta.
Diskusi tersebut bertujuan mengidentifikasi isu-isu sektoral yang dapat menggambarkan konsep politik hukum DPD serta mekanisme ideal penyusunan usul DPD untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.
Tahapan pembahasan Prolegnas yang ada saat ini telah memberi ruang bagi DPD untuk turut menentukan agenda pembentukan legislasi. Hal ini dapat dilihat dari pencantuman beberapa RUU yang menjadi tugas DPD dalam pengusulannya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUX/2012 yang menyebutkan bahwa keterlibatan DPD dalam pembahasan sampai dengan penentuan Prolegnas dilaksanakan dalam rangka mewujudkan dan merupakan konsekuensi kewenangan konstitusional DPD dalam ranah legislasi untuk mengusulkan dan membahas Rancangan Undang-undang (RUU) bidang tertentu.
Dalam kesempatan tersebut, Fajri menyampaikan bahwa logika penentuan politik hukum legislasi DPD harus berdasar dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), visi dan misi DPD, serta kebutuhan daerah. Berdasar aturan tersebut, ada tiga kerangka politik hukum legislasi yang perlu diutamakan, yakni penguatan kewenangan legislasi, penguatan suara daerah dalam setiap pembahasan RUU, dan penguatan mekanisme internal untuk mewujudkan proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Untuk menguatkan kewenangan DPD, ada beberapa cara yang bisa ditempuh, pertama dengan memunculkan kewenangan DPD dalam mengajukan usulan RUU tertentu agar sejajar dengan Presiden; memaknai “RUU tertentu” bukan hanya yang diusulkan oleh DPD, tetapi dari seluruh RUU yang dibahas; dan menguatkan pengaturan tentang peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan agenda reformasi regulasi, khususnya dalam mengatasi hiperregulasi, penguatan kelembagaan, harmonisasi perencanaan pembagungan dan legislasi. Hal itu dapat dilakukan, salah satunya, dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Terkait dengan penguatan kepentingan daerah, Fajri menyampaikan bahwa DPD perlu menjadi penyeimbang DPR dan Presiden dalam pembahasan RUU, terutama dalam menyuarakan kepentingan daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap dampak bagi daerah dari terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, termasuk terkait dengan penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Terakhir, Fajri menuturkan perlunya penguatan kapasitas anggota DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi, penguatan mekanisme pengambilan keputusan dalam fungsi legislasi agar lebih dinamis dalam mengimbangi DPR dan Presiden, Pembentukan Peraturan DPD tentang Pemantauan dan Peninjauan sesuai amanat Pasal 95B ayat (2) UU 15/2019, penguatan wadah mewujudkan transparansi dan partisipasi yang inklusif dalam proses legislasi sebagai adaptasi dari situasi pandemi COVID 19, dan peningkatan perhatian kepada kelompok rentan untuk menyuarakan aspirasinya dari daerah.