Pemerintah memutuskan untuk menggabungkan 15 ketentuan pembentukan PP yang diamanatkan untuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) menjadi 1 PP saja (PP “sapu jagat”). Keputusan itu untuk pertama kalinya disampaikan kepada publik dalam kegiatan Konsultasi Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan, di Yogyakarta, 25-28 Juli 2017. Namun begitu, masyarakat penyandang disabilitas yang berasal dari berbagai organisasi penyandang disabilitas dan organisasi lain yang aktif melakukan advokasi dalam isu disabilitas menyatakan penolakannya.
Dalam kegiatan Konsultasi Nasional yang didukung oleh GIZ tersebut, Pemerintah menyampaikan ada tiga alasan yang mendasari keputusannya, yaitu kebijakan simplifikasi regulasi yang sedang digariskan oleh Presiden, ketiadaan anggaran yang disediakan oleh Kemeterian/Lembaga (K/L) untuk pembentukan PP selain dari Kementerian Sosial, dan percepatan proses pembentukan PP sehingga target pengesahan pada 2018 dapat tercapai. Menanggapi hal itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, memberikan tanggapannya bahwa keputusan Pemerintah untuk menggambungkan 15 ketentuan PP menjadi 1 PP adalah bentuk dari penyederhanaan isu disabilitas, dan hal itu melanggar UU Penyandang Disabilitas sekaligus prinsip dalam Convention on the Rights with People with Disabilities (CRPD).
Lebih lanjut Fajri menyampaikan bahwa seharusnya UU Penyandang Disabilitas diatur lebih lanjut dalam minimal 14 PP turunannya, karena 14 ketentuan PP diatur dalam UU Penyandang Disabilitas menggunakan frasa “diatur dengan”, sedangkan 1 ketentuan PP lain menggunakan frasa “diatur dalam”. Dalam teori perundang-undangan, ketentuan delegasi dengan frasa “diatur dengan” berarti harus dituangkan dalam 1 PP tersendiri, sedangkan untuk frasa “diatur dalam” diperbolehkan untuk digabungkan dengan PP yang lain. Oleh karena itu, patut dipertanyakan bagaimana justifikasi Pemerintah dalam memandang frasa “diatur dengan” dalam pengambilan keputusan pembentukan PP “sapu jagat” ini.
Selain itu, Fajri juga menambahkan bahwa yang jadi permasalahan bukanlah tidak tersedianya anggaran, tetapi tidak adanya keinginan politik atau political will dari Pemerintah untuk menindaklanjuti amanat dari UU Penyandang Disabilitas, yaitu menjadikan disabilitas sebagai isu multisektor yang berbasis pada Hak Asasi Manusia. Sedangkan untuk pertimbangan waktu pembentukan, PP “sapu jagat” ini tidak akan mempercepat proses, karena apa yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah utama, yaitu tidak adanya kepemimpinan yang kuat dalam mengawal implementasi dari UU Penyandang Disabilitas di internal Pemerintahan. Pendapat Fajri itu kemudian diperkuat oleh peserta lainnya yang juga ikut mempertanyakan sampai akhirnya menolak keputusan Pemerintah untuk menggabungkan 15 ketentuan PP menjadi 1 PP “sapu jagat”.
Kegiatan Konsultasi Nasional tersebut dilanjutkan dengan diskusi kelompok membahas substansi dari masing-masing ketentuan delegasi PP yang diamanatkan oleh UU Penyandang Disabilitas. Diskusi kelompok itu berhasil mengumpulkan masukan dari berbagai peserta yang hadir, sehingga dapat menjadi materi awal untuk membahas keseluruhan PP yang diamantakan secara terpisah. Besar harapan dari masyarakat penyandang disabilitas agar Pemerintah merevisi keputusannya, dan melanjutkan proses pembentukan PP secara terpisah di masing-masing K/L sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Penulis: Fajri Nursyamsi