Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk dalam prioritas adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. RUU tersebut terkait dengan kebutuhan penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas adalah kelompok rentan yang paling terdampak ketika terjadi suatu bencana.
Menurut Peneliti Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Fadel Basrianto, penyandang disabilitas berkepentingan dengan RUU Penanggulangan Bencana karena penyandang disabilitas memiliki resiko kematian empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan nondisabilitas. Informasi mengenai kebencanaan, fasilitas tanggap darurat bencana, dan infrastruktur fisik masih banyak yang tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas. Selain itu, pelibatan disabilitas dalam simulasi penanganan bencana juga masih sangat terbatas dan tidak ada perencanaan penyelamatan disabiltias ketika terjadi bencana.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Penanggulangan Bencana: Membangun Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanganan Bencana” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Kamis (16/9/2021).
Sementara itu, Capacity Building and Engagement Manager Arbeiter-Samariter-Bund (ASB), Rofikul Hidayat, menuturkan bahwa terdapat praktik inklusi yang harus diterapkan dalam penanggulangan bencana. Paktik tersebut meliputi beberapa hal, pertama, aksesibilitas informasi dan peringatan dini, infrastruktur, peralatan, dan pelayanan. Kedua, tersedianya data pilah berdasarkan gender, usia, ragam disabilitas, dan wilayah. Ketiga, prioritas perlindungan berupa pemenuhan hak dan kebutuhan dasar, serta bebas dari diskriminasi. Keempat, perlunya peningkatan kapasitas pelatihan, pendidikan, dan simulasi. Terakhir, pentingnya pelibatan partisipasi penyandang disabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi penanggulangan bencana.
Anggota Anggota Forum Peduli Disabilitas Bantul, Mariyati, menilai bahwa penting untuk menghadirkan fasilitator penanganan bencana yang juga merupakan penyandang disabilitas, dengan begitu akan tercipta perasaan saling memahami antara fasilitator dan korban. Ia menambahkan pentingnya penyediaan aksesibilitas nonfisik seperti pelatihan bahasa isyarat di daerah rawan bencana seperti Bantul, Yogyakarta.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Eksekutif YAPESDI Indonesia Down Syndrome Care, Agus Hidayat dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.