Saat ini pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana membentuk holding pertambangan. Adapun pembentukan holding pertambangan tersebut akan melibatkan tiga perusahaan tambang pelat merah, yakni PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Dan induk usaha holding tersebut adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Faiz Aziz, Direktur Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengatakan bahwa PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
“Yang harus dipahami adalah bahwa holding BUMN berbeda dengan privatisasi” ungkap Aziz saat menjadi narasumber dalam Diskusi Media: Menakar Untung Rugi Holding BUMN yang diselenggarakan oleh Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin (27/11), di Jakarta. Aziz melanjutkan dalam pelaksanaannya tetap ada hukum keuangan negara dan pasar modal yang akan menjadi pengawas untuk mencegah penyimpangan.
Turut hadir tiga narasumber lain dalam diskusi tersebut Erry Riana, Pimpinan KPK Periode 2003-2007; Fasial Basri, Ekonom UI; dan Bambang Haryo, Anggota Komisi VI dari Fraksi Gerindra.
Sementara itu, Erry Riana beranggapan bahwa pembentukan holding BUMN pertambangan akan mempermudah ekspansi usaha BUMN dan akan membuat BUMN saling membantu dalam menghadapi kendala operasional. Namun, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembentukan holding pertambangan ini, yaitu transparansi, tidak melanggar hukum dan tetap ada kontrol negara.
Hal berbeda disampaikan oleh Faisal Basri yang menentang pembentukan holding tambang. Faisal beralasan bahwa PT Inalum sebagai induk usaha holding pertambangan bukanlah BUMN yang lini usahanya pertambangan, seharusnya induk usaha dan anggota holding memiliki lini usaha yang homogen. Faisal juga mengingatkan bahwa tidak semua lini usaha bisa dijadikan holding, jangan sampai holding dijadikan satu-satunya solusi permasalah BUMN.