Sejumlah pengurus dan anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Selasa, 29 Januari lalu melakukan kunjungan ke PSHK. Kedatangan rombongan tersebut untuk mendiskusikan dua Surat Edaran Mahkamah Agung terkait dengan ketenagakerjaan yaitu SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dan Nomor 3 Tahun 2018. Beberapa materi dalam dua SEMA tersebut dinilai tidak berpihak pada perlindungan hak-hak buruh. Diantaranya, pembayaran upah proses yang ditetapkan hanya untuk enam bulan serta tidak adanya upah proses bagi pekerja kontrak yang sedang berperkara di pengadilan hubungan industrial.
Bersama dengan Direktur Eksekutif PSHK, M Nur Sholikin tim tersebut mendiskusikan strategi advokasi yang dapat dilakukan untuk mendorong perubahan materi dalam SEMA. Ketua Departemen Hukum dan Advokasi KPBI Nelson F Saragih dalam diskusi tersebut menyatakan materi dalam SEMA tersebut sangat merugikan kalangan pekerja. Dia menegaskan bahwa SEMA ini merupakan bukti keberpihakan kekuasaan yudikatif pada pasar tenaga kerja murah yang mengeksploitas pekerja.
Dalam diskusi yang juga dihadiri oleh Wakil Ketua Umum KPBI, Jumisih dan Sekretaris Jenderal KPBI Damar Panca, mengemuka bahwa materi dalam SEMA yang terkait dengan upah proses tersebut melemahkan pekerja. Dampaknya, kekuatan buruh dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial menjadi sangat lemah. Merujuk pada putusan hakim sebelum SEMA ini berlaku, upah proses akan dibayarkan sesuai lama waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa. Apabila prosesnya berlangsung dua tahun maka buruh akan mendapatkan upah proses 24 bulan. Dengan SEMA ini, maka buruh hanya akan mendapatkan upah proses enam bulan.
Sebagai strategi advokasi, Sholikin menyarankan agar dilakukan audiensi dengan Mahkamah Agung untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan keluarnya SEMA ini dan mendorong perubahan materinya. Selain itu, dapat ditempuh juga permohonan ajudikasi di Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat materi dalam SEMA ini, yang seharusnya hanya bersifat internal dan admnistratif, mengandung norma yang justru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.