Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk dalam prioritas adalah RUU tentang Pelindungan Data Pribadi. RUU itu terkait dengan kebutuhan penyandang disabilitas, khususnya terkait dengan aksesbilitas penyandang disabilitas dalam mendapatkan jaminan pelindungan data pribadinya, termasuk dalam melakukan input dan menggunakan data pribadinya. Berdasarkan temuan lapangan, penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat yang rentan disalahgunakan data pribadinya, sehingga memerlukan pelindungan lebih dalam ketentuan pada RUU Pelindungan Data Pribadi.
Menurut Ketua Departemen Advokasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Fajri Hidayatullah, RUU Pelindungan Data Pribadi sangat penting untuk menciptakan akesibilitas dan pelindungan data pribadi bagi penyandang disabilitas. RUU ini juga diharapkan dapat mendukung bisnis dan investasi, melindungi privasi sebagai bagian dari hak asasi manusia, memberikan kepastian hukum, hingga meningkatkan keamanan data.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Pelindungan Data Pribadi: Menggagas Pelindungan Data Pribadi bagi Penyandang Disabilitas” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Pertuni dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Selasa (14/9/2021).
Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), Miftah Fadhli, menjabarkan bahwa pemrosesan data pribadi harus memenuhi prinsip umum pelindungan sebagai berikut, pertama, perlu ada batasan tujuan pengumpulan data untuk alasan yang spesifik, eksplisit, dan sah. Kedua, hanya mengumpulkan data pada hal yang diperlukan dan berkaitan dengan tujuan. Ketiga, data harus akurat dan selalu up-to-date ketika diperlukan. Keempat, data disimpan selama masih diperlukan untuk mencapai tujuan. Kelima, data diproses secara aman. Terakhir, pemrosesan data harus dilakukan secara transparan, adil, dan juga memilik dasar hukum yang sah.
“Pengendali data harus menunjukkan kepatuhan terhadap prnsip-prinsip tersebut sebagai bentuk dari penjabaran prinsip akuntabilitas,” ujar Miftah.
Tenaga Ahli Komisi I DPR, Nurul Faizah, mengatakan bahwa saat ini Komisi I DPR RI dengan Pemerintah telah menyelesaikan 143 dari 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dengan rincian 125 DIM yang telah disetujui dan disepakati, 10 DIM ditunda pembahasannya, 6 DIM perlu diubah substansi, dan 2 DIM usulan baru.
Ia menambahkan, sejauh ini belum ada pasal khusus dalam RUU Pelindungan Data Pribadi yang mengatur perspektif penyandang disabilitas. Seluruh pemilik data diperlakukan sama, termasuk penyandang disabilitas. RUU ini juga belum memuat unsur gender, penyandang disabilitas, dan minoritas.
“Masih terbuka kesempatan untuk memberikan saran terhadap RUU Pelindungan Data Pribadi dari perspektif penyandang disabilitas,” ungkap Nurul.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Manajer Program dan Koordinator Advokasi SIGAB Indonesia, Sipora Purwanti dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.