Perkembangan sistem perundang-undangan di Indonesia saat ini menunjukkan perlunya diatur prosedur monitoring dan evaluasi yang formal. Selain itu, pemerintah juga perlu lebih serius melakukan reorganisasi kelembagaan terkait fungsi legislasi.
Pemerintahan Jokowi saat ini menunjukkan political will untuk melakukan pembenahan sistem perundang-undangan. Komitmen ini perlu ditindaklanjuti oleh unit-unit kerja di bawah Presiden untuk merancang desain reformasi regulasi secara menyeluruh. Penataan ini juga perlu ditindaklanjuti dengan merevisi UU No. 12 Tahun 2011.
“Reformasi regulasi yang terjadi saat ini hanya fokus pada sektor perekonomian, tidak menyentuh pada penataan kelembagaan dan terlihat belum ada sinergi antara Kementerian/Lembaga yang berperan dalam regulasi” ujar M. Nur Sholikin, Direktur Eksekutif PSHK, dalam Diskusi Panel Indonesia-Netherlands Rule of Law and Security Update dengan tema “Menuju Regulasi yang Lebih Baik”, pada Kamis (18/1), di Jakarta.
Dalam diskusi panel tersebut hadir pula narasumber lain, yaitu Jan Janus (Retired Coordinating Senior Counsel of the Directorate of Legislation of the Ministry of Justice), Jan ten Hoopen (Former Chairman of the Advisory Board on Administrative Burden/ACTAL), dan Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember). DIskusi panel tersebut dikelola oleh Pusat Studi Hukum dan Indonesia (PSHK) dan Centre for International Legal Cooperation (CILC).
Mengambil praktek di Belanda, bahwa penataan sistem perundang-undangan bukan satu proses yang mudah. Namun tetap perlu dilakukan. Belanda telah melakukan proses tersebut sejak lama. Oleh karena itu, penataan sistem perundang-undangan di Indonesia juga memperhatikan praktek-praktek terbaik dari negara lain yang telah berpengalaman melakukan reformasi regulasi.
Selain itu, menurut Dwi Bayu Anggono Pemerintah perlu melakukan strategi peningkatan kualitas regulasi melalui penataan ulang jenis, hirearki dan materi muatan, transparansi pembentukan regulasi, pelembagaan evaluasi peraturan perundang-undangan oleh pembentuknya (legislative review dan executive review) dan penyatuatapan pengujian regulasi di Mahkamah Konstitusi sehingga Mahkamah Agung tidak diberi kewenangan lagi.