Hambatan seorang penyandang disabilitas terjadi karena kondisi lingkungan yang tidak aksesibel dan tidak mendukung untuk dirinya hidup secara mandiri. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati untuk mewujudkan keadilan dalam sistem peradilan pidana adalah dengan menerapkan kesetaraan pada proses dan juga hasil.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi daring bertajuk Mewujudkan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan OHANA secara daring pada Jumat (3/2/2023).
Sistem peradilan di Indonesia harus mampu mewujudkan akomodasi yang layak karena penyandang disabilitas juga memiliki kewajiban sebagai warga negara, seperti wajib hadir ketika dipanggil penegak hukum dan wajib memberikan keterangan sebenar-benarnya. Sayangnya, sebagian hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas tidak diketahui dan menghadapi hambatan dalam stigma, pelayanan, dan fasilitas.
Menurut Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi, regulasi terkait akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam sistem peradilan pidana sudah jauh lebih baik. Ketentuan untuk penyediaan akomodasi yang layak dalam sistem peradilan pidana sudah diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam ketentuannya, penyediaan akomodasi yang layak ditugaskan kepada lembaga penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana mencakup Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, dan lembaga advokat.
Tugas yang diberikan kepada lembaga penegak hukum tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan (PP 39/2020). PP tersebut sudah mengatur lebih detail mengenai apa yang dimaksud dengan “akomodasi yang layak”, baik dalam bentuk layanan atau sarana prasarana. Pengaturan mengenai bentuk akomodasi yang layak dibagi berdasarkan hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, sehingga diharapkan hambatan yang ada dapat teratasi.
“Dalam tiga tahun terakhir, lembaga-lembaga penegak hukum sudah memiliki kepedulian untuk mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Namun, masih ada beberapa kekurangan yang masih bisa ditingkatkan. Misalnya di Kepolisian belum ada peraturan internal untuk pelayanan bagi penyandang disabilitas,” ungkap Fajri.
Fajri menambahkan terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam sistem peradilan pidana, yaitu belum tersedia peraturan pelaksanaan di seluruh instansi penegak hukum, peraturan internal lembaga penegak hukum belum terkoneksi dengan lembaga lain, peraturan internal yang sudah ada belum tersosialisasi dengan baik, implementasi masih berbasis pada advokasi pihak eksternal, dan belum tersedianya anggaran pelaksanaan.
Sementara itu, Pjs. Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik, Siti Husna, menuturkan terdapat beberapa tantangan ketika mendampingi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Menurutnya, meski sudah ada Nota Kesepahaman antara Kepolisian dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), belum banyak polisi yang sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai disabilitas sehingga berujung pada victing blaming.
“Ketika penyandang disabilitas tidak mendapatkan akses bantuan hukum dan melaporkan kasusnya sendiri ke polisi, laporan tersebut kerap ditolak, terutama untuk kasus kekerasan seksual yang korbannya merupakan penyandang disabilitas mental,” ungkap Siti Husna.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, M. Nur Ramadahan dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.