Ruang gerak masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir mengalami penyempitan. Salah satu tanda penyempitan tersebut adalah maraknya berbagai serangan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM). Sepanjang Januari-Mei 2023, Amnesty International Indonesia mencatat adanya 127 serangan terhadap pembela HAM. Beberapa penyerangan tersebut diduga melibatkan aktor negara seperti tentara, polisi, dan pejabat pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Alviani Sabillah, serangan terhadap pembela HAM sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993 dan aktivis HAM Munir pada 2004, penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 2017, atau yang terbaru adalah penganiayaan terhadap jurnalis Nurhadi di Surabaya. Namun, sampai hari ini negara tidak pernah secara serius menuntaskan kasus-kasus tersebut. “Situasi ini menggambarkan bahwa kita (pembela HAM) belum benar-benar terlindungi,” ungkap Alviani.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) bertajuk “Judicial Harassment dan Masa Depan Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh PSHK pada Jumat (15/12/2023) secara daring.
Alviani menambahkan bahwa serangan terhadap pembela HAM juga mengalami transformasi. Sebelumnya, serangan-serangan tersebut lebih banyak berupa serangan fisik, namun kini serangan juga berupa tindakan pembalasan melalui jalur hukum pidana dan perdata, yang disebut sebagai judicial harassment, untuk membatasi pembela HAM dalam menjalankan aktivitasnya.
Jaminan pelindungan terhadap pembela HAM sejatinya sudah diatur, di antaranya dalam Pasal 19 Kovenan Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Right dan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang secara tegas melindungi korban dan pelapor kerusakan lingkungan hidup dari pembalasan terlapor atas tuntutan pidana atau gugatan perdata.
Meski begitu, Alviani menilai masih terdapat potensi ancaman kriminalisasi terhadap pembela HAM pada beberapa peraturan, antara lain Pasal 107 e UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Potensi ancaman ini muncul dikarenakan peraturan-peraturan tersebut multitafsir sehingga membuka celah terjadinya judicial harassment.
Pada kesempatan yang sama, kuasa hukum Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, Nurkholis Hidayat menuturkan bahwa sebenarnya judicial harassment tidak hanya menimpa para pembela HAM, tapi juga kalangan masyarakat sipil lain yang lebih luas. Hal tersebut dapat terjadi karena hukum positif yang ada disalahgunakan untuk menyerang, membungkam, menimpakan kesalahan, atau berniat untuk memenjarakan. Fenomena ini disebut oleh Nurkholis sebagai miscarriages of justice.
Menurut Nurkholis, miscarriages of justice dapat disebabkan oleh dua hal, pertama yang bersifat teknikal seperti kesalahan-kesalahan yang unsur kesengajaannya minim, misalnya kesaksian yang dipaksakan, misconduct, kesalahan forensik, dan lain-lain. Yang kedua adalah faktor politis dan kesengajaan penyalahgunaan mekanisme hukum yang lebih condong disebut sebagai judicial harassment.
Judicial harassment juga merupakan tren global. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua negara Asia Tenggara memiliki aturan hukum yang disalahgunakan untuk menyerang pembela HAM dengan tujuan menyempitkan ruang partisipasi dan membungkam kelompok berbeda atau oposisi. Kasusnya pun tak jauh berbeda dengan yang dialami Fatia-Haris, yang dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu contohnya adalah tiga pembela HAM di Thailand, Somchai Homlaor, Pornpen Khongkachonkie, and Anchana Heemmina, yang dituntut karena mempublikasikan laporan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Thailand bagian selatan.
Nurkholis mengakui terdapat beberapa aturan yang bisa digunakan untuk mencegah judicial harassment, yaitu Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Namun, kedua aturan tersebut hanya mengacu pada isu lingkungan hidup sehingga diperlukan perluasan cakupan pelindungan pada seluruh sektor yang melibatkan partisipasi publik.
Lebih lanjut, Nurkholis juga menekankan bahwa judicial harassment merupakan problem struktural yang terkait dengan demokrasi dan penghormatan HAM dari negara. “Dikarenakan problemnya struktural, tentu lebih lama menyelesaikan persoalan ini. Tidak cukup hanya dengan menambal-menambal aturan,” tegas Nurkholis.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2023, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Seri Diskusi FKP bertajuk “Judicial Harassment dan Masa Depan Pelindungan Pembela Hak Asasi Manusia” yang dimoderatori oleh Research Intern PSHK Nizwa Aphria Hasaz dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.