JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu reformasi hukum bertemu dengan 23 hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) pada Jumat, 11 Oktober 2024 di kampus Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Kunjungan para hakim dari berbagai wilayah di Indonesia itu merupakan penutup rangkaian aksi cuti bersama untuk mengadvokasi peningkatan kesejahteraan profesi hakim. Sebelumnya, SHI telah melakukan audiensi ke berbagai institusi, termasuk Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat, serta sejumlah organisasi keagamaan dan media massa nasional.
Dalam sambutannya sebagai tuan rumah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang juga dosen STH Indonesia Jentera, Rizky Argama, menyampaikan harapan agar tuntutan SHI terkait kesejahteraan hakim tak hanya berhenti pada persoalan gaji dan tunjangan, tetapi juga desakan kepada negara terkait permasalahan yang lebih mendasar, seperti soal pengaturan jabatan hakim yang harus direformasi melalui perubahan berbagai regulasi. Selain itu, ia juga mengingatkan agar gerakan ini dapat terhindar dari upaya pihak-pihak yang ingin menjadikan isu kesejahteraan hakim sebagai komoditas politik.
Perwakilan SHI, Aulia Ali Reza, menyoroti tidak jelasnya kerangka hukum terkait kedudukan hakim yang berdampak mulai dari pengaturan kesejahteraan yang tidak konsisten hingga ancaman keamanan terhadap para hakim. Selain persoalan kesejahteraan, SHI mengharapkan dukungan dari masyarakat sipil agar RUU Jabatan Hakim dan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court) dapat didorong masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Lebih jauh, Aulia memaparkan berbagai desakan yang telah mereka sampaikan kepada institusi-institusi pemangku kebijakan, antara lain:
- meninjau kembali jumlah nominal tunjangan jabatan dan tunjangan kemahalan hakim berdasarkan laju inflasi nasional, serta dengan mempertimbangkan kondisi wilayah;
- pengaturan tunjangan kemahalan harus diatur dengan penyebutan langsung nama pengadilan secara spesifik yang memperoleh tunjangan sesuai dengan zonanya, dengan tujuan untuk menghindari kerancuan seperti yang saat ini terjadi;
- meninjau kembali ketentuan biaya bantuan sewa rumah yang seharusnya dapat dikeluarkan apabila rumah dinas di suatu pengadilan sudah dalam kondisi tidak layak huni;
- menyusun peraturan perlindungan jaminan keamanan bagi hakim, mengingat banyaknya insiden kekerasan yang menimpa hakim di berbagai wilayah pengadilan;
- mendorong sistem yang lebih adil terkait promosi dan mutasi hakim guna membantu para hakim agar tidak ditempatkan terlalu jauh dari domisilinya, serta lebih mengedepankan sistem merit yang berperspektif pada wilayah kerja.
Menanggapi pernyataan para hakim tersebut, dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menekankan soal peran hakim dalam penegakan keadilan dan pentingnya mendukung hakim progresif yang dapat menjaga integritas dalam profesi mereka. Senada dengan itu, peneliti senior LeIP, Dian Rositawati, menyatakan dukungan atas tindakan kolektif dan advokasi yang dilakukan oleh SHI demi mewujudkan kebutuhan akan upah yang layak bagi hakim dan penegak hukum. Dian, yang juga pengajar di STH Indonesia Jentera, menyinggung pentingnya menghidupkan kembali Koalisi Pemantau Peradilan sekaligus sebagai bentuk refleksi terhadap reformasi peradilan yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Dahulu, koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu pembaruan peradilan itu aktif memberikan kritik dan saran kepada institusi-institusi pengadilan.
Selain perwakilan PSHK dan STH Indonesia Jentera, hadir pula dalam pertemuan tersebut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Muhammad Rizaldi, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, serta beberapa perwakilan dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).