Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengatur beberapa hal baru terkait pengelolaan sumber daya laut. RUU ini akan merevisi sejumlah undang-undang, yakni UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, serta UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Dari beberapa ketentuan yang akan diubah, berbagai macam kritik dilontarkan masyarakat karena ketentuan dalam pasal RUU Cipta Kerja dianggap hanya memberi karpet merah kepada pelaku usaha untuk berinvestasi, namun tidak memprioritaskan keberlanjutan ekosistem, sumber daya ikan, serta nelayan dan masyarakat di pulau kecil. Padahal, aspek pelindungan sumber daya kelautan dan perikanan serta masyarakat yang hidup di sekitarnya amat penting agar tidak tercipta eksploitasi berlebihan (over exploitation) atas sumber daya alam dan dalam rangka mencegah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat marjinal.
Menurut Director of International Engagement and Policy Reform Indonesia Ocean Justive Initiative (IOJI), Stephanie Juwana RUU Cipta Kerja berpotensi menghambat pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, diubahnya izin lingkungan menjadi persetujuan merupakan pengurangan terhadap esensi preventive principle atau prinsip pencegahan dan dihapusnya Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) akan berpotensi menyebabkan pengurangan esensi best scientific evidence available.
Menurutnya, pengurangan dua prinsip ini merupakan pengurangan terhadap prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Padahal prinsip pembangunan berkelanjutan ini merupakan prinsip yang tidak dapat ditinggalkan karena diatur oleh konstitusi, yakni Pasal 33 UUD 1945.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol 5 bertema “Pelindungan Nelayan dan Tenaga Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan dalam RUU Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Jumat (7/8/2020).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati mengungkapkan bahwa perlu ada suatu pemahaman bersama bahwa investasi bukan persoalan yang haram. Yang perlu ditekankan adalah skema pelindungan yang disiapkan negara agar investasi ini tidak mengancam kelestarian laut Indonesia.
Lebih lanjut, Susan menilai RUU Cipta Kerja harus ditolak karena proses pembentukannya tidak melibatkan pihak-pihak terkait dan hanya menguntungkan investor. “Dalam perumusan RUU omnibus ini, kita tidak pernah dilibatkan, tidak ada keterlibatan orang-orang yang seharusnya terlibat, yakni orang-orang yang hidup di ruangannya, seperti nelayan. Dalam penyusunan omnibus ini, yang diberi ruang adalah investor atau pemilik modal. Sehingga selalu memunculkan pertanyaan bahwa omnibus ini untuk siapa?,” ungkapnya.
Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah menyoroti masalah penyusunan pembahasan RUU Cipta Kerja yang tidak melibatkan warga terdampak, seperti nelayan. Ia juga menilai pandemi Covid-19 seolah-olah menjadi jalan tol bagi pihak-pihak yang menginginkan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa izin untuk eksplorasi di sektor perikanan tidak hanya mengancam nelayan-nelayan kecil, tapi juga tata kelola, dan pembangunan berkelanjutan di sektor perikanan. Apalagi komitmen untuk melindungi wilayah pesisir juga tidak jelas. Akibatnya, atas nama investasi, kepentingan masyarakat marjinal dan nelayan-nelayan kecil akan terancam.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, Nabila ini diikuti oleh seratusan peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (AP)