Tidak diubahnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akan menjadikan kondisi Pemilu Serentak 2024 kurang lebih sama dengan Pemilu 2019. Padahal, Pemilu 2019 bukan tanpa cela, ada beberapa isu krusial yang masih muncul diantaranya adalah pemenuhan hak memilih kelompok rentan yang masih perlu diperhatikan, persoalan keterwakilan perempuan, transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan pemilu, penataan beban penyelenggara pemilu, dan perbedaan pengaturan UU Pemilu dan Pilkada.
Hal tersebut disampaikan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan bertema Peluang dan Tantangan Penataan Penyelenggaraan Pemilu Menuju Pemilu Serentak 2024 yang diselenggarakan pada Selasa (6/12/2022) secara daring.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia, Hurriyah, menuturkan bahwa terdapat dua problem utama pemilu di Indonesia. Pertama adalah sektor regulasi atau prosedural. Menurutnya, regulasi pemilu dibuat tidak setara antara partai besar dan partai kecil, partai baru dan partai lama, atau politisi perempuan dan laki-laki. Sisi penyelenggaraan juga lebih rumit dan kompleks, sementara dari hasil pemilu belum menghasilkan komposisi politik yang memperkuat representasi politik dan sistem presidensial.
Problem kedua adalah soal substansi dari pemilu. Menurut Hurriyah, terjadi diskoneksi antara partisipasi selama pemilu dan partisipasi pasca-pemilu. “Pemilu serentak berhasil menjadi stimulan politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih secara agregat, namun tidak memberikan pengaruh positif terhadap kecerdasan politik pemilih,” ungkap Hurriyah.
Hurriyah juga mengungkap beberapa tantangan demokrasi elektoral saat ini seperti biaya politik yang mahal dan praktik politik uang, mobilisasi politik identitas, diskoneksi hubungan antara pemilih dan partai politik atau kandidat, rendahnya akuntabilitas representasi politik, dan reduksi peran masyarakat hanya sebagai voters, bukan demos.
Arief Budiman, Peneliti Senior NETGRIT yang juga Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2017-2021, menuturkan beberapa tantangan Pemilu 2024 dari sisi penyelenggara. Misalnya, jarak dan waktu yang berhimpitan, kondisi cuaca yang tidak menentu, terjadinya irisan pemilu dan pilkada, kompleksitas pengelolaan logistik, akhir masa jabatan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota beririsan dengan tahapan pemilu yang krusial, dan masih terjadinya situasi pandemi Covid-19.
Arief juga mengungkapkan beberapan langkah strategis yang dapat diambil dalam mengatasi problematika Pemilu 2024 antara lain dengan meningkatkan daya kritis masyarakat terkait pemilu dan pemilihan melalui sosialisasi dan pendidikan pemilih yang masif dan merata, melakukan konsolidasi dan koordinasi antar stakeholder kepemiluan, menyiapkan regulasi Pemilu 2024 yang komprehensif dan mendetail, serta meyakinkan masyarakat mengenai independensi penyelenggara pemilu lewat sikap dan perilaku penyelenggara.
Anggota Komisi II DPR RI, Saan Mustofa, menuturkan bahwa meski UU Pemilu tidak dilakukan revisi, namun munculnya empat daerah otonomi baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Barat Daya, dan Provinsi Papua Pegunungan akan diatur lewat mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu. Selain memuat daerah otonomi baru, Perppu tersebut juga akan memuat penataan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2022, PSHK menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, Alviani Sabillah dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.