Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan peluncuran policy paper dan diskusi bertajuk “Reformasi Kerangka Hukum untuk Pelindungan dan Peluasan Ruang Gerak Masyarakat Sipil Indonesia” pada Rabu (21/2/2024) di kampus Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Dalam policy paper tersebut, PSHK menganalisis kerangka hukum dan implementasi hukum yang menjadi pemicu mundurnya demokrasi dan membuat posisi Indonesia menjadi stagnan dalam berdemokrasi.
Dalam diskusi tersebut, Peneliti PSHK Alviani Sabillah menyoroti soal terhambatnya kebebasan akademik. Mengutip catatan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), terjadi kenaikan kasus serangan terkait dengan kebebasan akademik dari 29 kasus pada 2021 menjadi 43 kasus sepanjang 2022. Serangan dan upaya pembungkaman kebebasan akademik ini berupa serangan digital, pemidanaan terhadap ahli/dosen yang bersaksi, tekanan dan teror terhadap aksi mahasiswa, sampai pada pemaksaan kebenaran sepihak oleh pemerintah.
Menurut Alviani, sejumlah pasal di undang-undang justru berpotensi jadi bumerang yang mengekang kebebasan akademik, di antaranya adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebelum perubahan yang seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi dalam konteks akademik. Salah satunya adalah kasus Fatia-Haris yang dilaporkan dengan pasal tersebut sebagai buntut mendiskusikan hasil riset mengenai situasi HAM di Papua.
Untuk meningkatkan iklim kebebasan akademik, Alviani merekomendasikan untuk meninjau kembali UU ITE secara menyeluruh, terutama mencabut Pasal 27A, Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 40 Perubahan Kedua UU ITE; mencabut Pasal 190 ayat (1) dan 218 KUHP Baru yang akan mulai berlaku pada 2026; dan meninjau keberlakuan UU Cipta Kerja, khususnya pasal-pasal yang bersinggungan dengan pengelolaan pendidikan.
Asisten Peneliti PSHK, Nurul Fazrie kemudian memaparkan mengenai kebebasan bagi organisasi nonpemerintah yang fokus di isu HAM. Menurut perempuan yang akrab disapa Nufa ini, para pembela HAM di berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) sering kali mengalami berbagai ancaman dan serangan, termasuk kriminalisasi, penangkapan, stigmatisasi, hingga penahanan sewenang-wenang (judicial harassment). Padahal, OMS berperan untuk turut memastikan pemerintah bekerja dengan tata kelola yang baik, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk memberikan pelindungan bagi organisasi masyarakat sipil, Nufa merekomendasikan untuk merevisi pasal-pasal karet dalam UU ITE yang mengancam kerja-kerja pembela HAM dan mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menetapkan peraturan Anti-SLAPP (Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation/gugatan strategis terhadap partisipasi publik), termasuk implementasi yang lebih ketat dan terintegrasi melengkapi Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup serta Pedoman Kejaksaan No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
Asisten Peneliti PSHK, Cikal Restu Syiffawidiyana menambahkan bahwa problem lainnya terkait dengan pengelolaan OMS adalah keberlakuan UU Ormas. Menurut Cikal, UU Ormas bermasalah baik dari segi formil maupun substansi. Dari segi formil, UU Ormas, yang mulanya diterbitkan berdasarkan perppu, tidak memenuhi syarat pembentukan perppu yang mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010. Dari sisi substansi, UU Ormas meniadakan proses yudisial sebagai mekanisme pembubaran suatu organisasi. Untuk itu, Cikal merekomendasikan untuk mencabut UU Ormas.
Selain pemaparan dari para peneliti PSHK, terdapat tiga penanggap yang merupakan juru bicara muda dari tiga pasangan capres-cawapres 2024, yaitu Jubir Muda Anies-Muhaimin Hari Akbar Apriawan, Jubir Muda Prabowo-Gibran Mangkubumi, dan Jubir Muda Ganjar-Mahfud Tabitha Napitupulu.
Terkait menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil, Hari menilai hal tersebut disadari oleh Anies-Muhaimin sehingga memasukkan poin untuk memulihkan kualitas demokrasi dan menegakkan hukum dan HAM dalam visi-misinya. Sementara itu, Mangkubumi menilai Prabowo-Gibran mengedepankan spirit untuk melakukan reformasi hukum sehingga aturan-aturan hukum yang dinilai janggal dan dapat menjadi pasal karet bisa dilakukan perbaikan. Terakhir, Tabitha mengajak generasi muda untuk terus berani bersuara karena Indonesia adalah negara demokrasi.
Diskusi yang dimoderatori oleh Program Manager PSHK Violla Reininda dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK.