Ilmu Pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) dapat dilakukan untuk berbagai hal, salah satunya adalah penyusunan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan Iptekin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menghasilkan produk hukum baru yang lebih berkualitas dan juga dapat diarahkan untuk mengatasi permasalahan legislasi yang ada.
Sayangnya, menurut Peneliti Tata Kelola Pemerintahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Riris Katharina, Iptekin dalam penyusunan peraturan perundang-undangan belum dipandang penting saat menyusun kebijakan. Hal tersebut tampak dari minimnya permintaan penyusunan Naskah Akademik dari DPR, kementerian, dan lembaga. “BRIN sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi sudah seharusnya memberikan perhatian dalam penyusun Naskah Akademik,” ungkap Riris.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi Sesi I STI Policy Lecture Series 3 – 2023: “Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Rabu (18/10/2023) secara daring.
Koordinator Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR RI Widodo menyampaikan bahwa naskah akademik mendorong para pembentuk undang-undang untuk rasional dan berbasis bukti dalam menetapkan setiap keputusannya. Melalui naskah akademik dapat diketahui alam pikiran para pembentuk undang-undang secara filosofis, sosiologis, dan yuridis yang melatarbelakangi lahirnya sebuah produk undang-undang. Meski begitu, sistem pendukung keahlian DPR tidak mungkin melakukan penelitian murni atau terapan dalam menyusun naskah akademik dikarenakan keterbatasan waktu dan sumber daya yang ada. Untuk itu sistem pendukung keahlian DPR perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai lembaga riset murni atau lembaga riset terapan, seperti BRIN, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian independen.
Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi menuturkan bahwa Iptekin dan pembentukan peraturan merupakan produk politik yang dipengaruhi oleh arus kepentingan dan arus pengetahuan. Sehingga, semua pihak yang terkait dalam pembentukan peraturan harus diberi ruang untuk terlibat dan berpartisipasi. Namun, situasi saat ini menunjukkan sebaliknya seperti pembentukan peraturan perundang-undangan cenderung dilakukan secara tertutup, partisipasinya masih dilakukan satu arah, perlunya meningkatkan kolaborasi kelompok masyarakat sipil untuk mengimbangi kuasa pembentuk peraturan,dokumen yang terpublikasi terjadi di luar jalur resmi, dokumen yang tersebar minim akses bagi penyandang disabilitas, rawan kriminalisasi, dan masih maraknya disinformasi.
Menurut Fajri, perbaikan ke depan yang dapat dilakukan adalah dengan memperkaya sarana alternatif partisipasi publik yang bermakna; perketat syarat penentuan rapat tertutup; obyek kerahasiaan diletakkan pada informasinya sehingga dokumen masih dapat diakses; memperluas ruang kesadaran, keterampilan, dan kolaborasi di kelompok masyarakat sipil; dan membangun ruang partisipasi yang inklusif.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti PSHK Nurul Fazrie bertujuan agar Iptekin dapat menjadi pertimbangan utama dalam proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia. STI Policy Lecture 2023 diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Article 33, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan The SMERU Research Institute.
Diskusi Sesi I STI Policy Lecture Series 3 – 2023: “Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.