Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasona H. Laoly dalam Seminar Pembangunan Hukum di Jakarta pada Oktober 2017 menyatakan bahwa kualitas regulasi saat ini masih rendah. Kualitas regulasi yang rendah tersebut ditandai dengan masih banyaknya tumpang tindih, ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, dan peraturan perundang-undangan yang tidak efektif keberadaannya. Kualitas regulasi yang rendah ini menuntut pemerintah melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.
Permasalahan kualitas regulasi yang rendah tersebut masih ditambah dengan permasalahan kuantitas regulasi di Indonesia yang sangat besar. Presiden Joko Widodo, pada Maret 2016 menyatakan komitmennya untuk menyederhanakan regulasi. Banyaknya regulasi tersebut menyebabkan pemerintah tidak leluasa bergerak. Bahkan dalam akun facebook pribadinya, Presiden Joko Widodo pernah menuliskan status “Negara kita kebanyakan regulasi undang-undang, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan gubernur, dan lain-lain. Kita pernah hitung, ada 42.000 aturan. Repotnya, aturan itu menjerat diri sendiri, lebih berorientasi pada prosedur bukan hasil. Hal ini dapat menghambat munculnya inovasi baru.”
Persoalan tentang kualitas dan kuantitas regulasi di Indonesia sudah seringkali menjadi sorotan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional. Pada 2012, OECD menerbitkan Laporan Kajian mengenai Reformasi Regulasi Indonesia. Beberapa indikasi permasalahan regulasi memiliki kesamaan dengan permasalahan yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM tersebut. Sejumlah langkah untuk menyelesaikan persoalan tersebut telah dilakukan oleh pemerintahan saat ini. Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo yang diterbitkan pada Oktober 2017, salah satunya menyebutkan capaian Paket Kebijakan Ekonomi I-XV terhadap sejumlah regulasi. Laporan tersebut menunjukkan adanya 9 regulasi yang dicabut, 31 regulasi direvisi, 49 regulasi dibentuk, 35 regulasi digabung dan 89 regulasi mencabut yang lama.
Langkah lain yang ditempuh pemerintahan Joko Widodo pada Oktober 2016 mengeluarkan paket kebijakan revitalisasi hukum. Ada tiga program yang direncanakan dalam kebijakan revitalisasi hukum tersebut yaitu (i) penataan regulasi, (ii) pembenahan kelembagaan, dan (iii) pembangunan budaya hukum. Terkait dengan program penataan regulasi terdapat tiga sub program yang akan dijalankan yaitu penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan, revitalisasi evaluasi peraturan perundang-undangan dan penataan database peraturan perundang-undangan.
Data lain yang disampaikan oleh Kepala Staf Presiden, Teten Masduki pada saat Konferensi Hukum Tata Negara di Universitas Jember pada 11 November 2017 menunjukkan sejumlah progress dan perencanaan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Data tersebut antara lain menyebutkan bahwa pada 2016 telah dicabut 324 regulasi dan 75 regulasi direvisi. Sementara Kementerian Perekonomian melakukan deregulasi 204 peraturan. Kementerian Hukum dan HAM dijelaskan dalam presentasi tersebut melakukan manajemen pembentukan regulasi, evaluasi regulasi dan pembangunan database.
Sejumlah langkah perencanaan dan capaian di atas menunjukkan komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam mendorong perbaikan regulasi atau peraturan perundang-undangan. Pembenahan regulasi ini perlu menjadi program yang berkesinambungan bagi pemerintah tanpa tergantung pada political will penguasa. Oleh karena itu, perbaikan regulasi yang saat ini masih terus diupayakan, walaupun masih fokus pada sektor perekonomian, perlu mentargetkan pada program reformasi regulasi yang lebih sistematis dan berkelanjutan. Salah satunya adalah penataan kelembagaan lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Artikel ini akan membahas mengenai reformasi regulasi dan urgensi penataan kelembagaannya di Indonesia. Pembahasannya akan dimulai dengan mengenali konsep reformasi regulasi dan dilanjutkan dengan analisis mengenai aspek kelembagaan dalam penataan regulasi di Indonesia.