Koalisi Digital Democracy Resilience Network (DDRN) melaksanakan Media & Public Discussion dalam rangka merilis penelitian “Regulasi Ujaran Kebencian: Studi Komparatif Indonesia dan Thailand dalam Konteks Pemilihan Umum” dan Kick Off Indonesia School on Internet Governance (IDSIG) Fellowship 2025. Acara yang dilaksanakan pada Senin (16/12/2024) mengangkat tema “Fostering Multi Stakeholders Efforts in Human Rights Based Indonesia Internet Governance in 2025” yang mendiskusikan tentang peraturan ruang digital dan bagaimana pembentukan ekosistem digital guna menjawab tantangan-tantangan pemenuhan hak digital yang ada di Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Hukum Indonesia (PSHK) Alviani Sabillah yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut memaparkan hasil riset mengenai pengenaan pasal-pasal ujaran kebencian pada UU ITE dan komparasinya dengan negara lain dalam regional Asia Tenggara. Riset ini merupakan hasil kolaborasi antara PSHK, Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan SAFEnet, yang bertujuan untuk mengetahui tentang regulasi mengenai ujaran kebencian, serta mengukur kualitas demokrasi dan civic space yang ada di Indonesia, terutama dalam konteks pemilihan umum.
Menurut Fani—begitu ia biasa disapa—seringkali perdebatan tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat berhubungan langsung dengan berbagai hambatan, bahkan tindakan kriminalisasi terhadap kebebasan tersebut. Fenomena ini juga sering muncul dan semakin menguat dalam konteks pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang berlangsung pada 2024. Tidak hanya di Indonesia, pasal-pasal yang mengandung unsur ujaran kebencian kerap digunakan untuk mengkriminalkan dan membungkam ekspresi serta pendapat tertentu juga terjadi di Thailand.
Fani menyebutkan bahwa definisi dari ujaran kebencian “hate speech” dapat disampaikan melalui bentuk ekspresi apapun. Ujaran kebencian dianggap penting untuk melindungi kelompok minoritas atau kelompok rentan dari serangan dan diskriminasi. Namun, dalam praktiknya, implementasi pasal terkait ujaran kebencian di banyak negara justru digunakan untuk menghalangi kebebasan berpendapat maupun berekspresi.
“The Rabat Plan of Action” hadir sebagai panduan bagi negara dari segi legislasi maupun kebijakan dalam penerapan Pasal 20 ayat (2) ICCPR yang mengharuskan negara untuk melarang bentuk-bentuk ujaran kebencian. Menurut The Rabat Plan of Action, pemaknaan regulasi ujaran kebencian harus dilakukan secara komprehensif dengan melalui tiga bagian uji pembatasan kebebasan berekspresi, yaitu legalitas, proporsionalitas, dan kebutuhan.
Dalam hal ini, Indonesia dan Thailand tidak melandasi pemaknaan dan penerapan unsur ujaran kebencian pada The Rabat Plan of Action. Fani juga menjelaskan, terdapat definisi yang luas serta multitafsir yang akan menjadi dampak dalam mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini disebabkan karena implementasi penegakan unsur ujaran kebencian yang sembarangan dan tidak didasarkan pada tolok ukur yang jelas. Oleh karena itu, perlunya peninjauan ulang terkait regulasi yang mengatur ujaran kebencian dengan merujuk pada The Rabat Plan of Action sertaharus memastikan bahwa The Rabat Plan of Action digunakan dalam penanganan kasus-kasus yang mengandung unsur ujaran kebencian dan singgungannya dengan pelindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.