Pada Agustus 2023 lalu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Yayasan Indonesia Cerah meluncurkan hasil penelitian bertajuk “Transisi Energi yang Adil di Indonesia: Analisis Kesenjangan Regulasi dalam Aspek Perlindungan Kelompok Terdampak”. Penelitian tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks posisi Indonesia sebagai negara pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca berdasarkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah untuk mengakomodasikan penurunan emisi gas rumah kaca, salah satunya adalah agenda pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sejumlah wilayah di Indonesia, didukung dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Peneliti PSHK Alviani Sabillah mengungkapkan bahwa aspek-aspek penting dalam pemensiunan PLTU batu bara sudah tercakup dalam peraturan perundang-undangan. Namun, semua peraturan tersebut bersifat umum sehingga tidak spesifik mengatur topik transisi energi. Fani—begitu ia biasa disapa—menilai bahwa masih ada kesenjangan dalam aspek pelindungan masyarakat lokal dengan kerangka peraturan yang secara spesifik mengatur transisi energi. Tanpa adanya ketentuan operasional yang menyatakan kembali hak-hak dan langkah-langkah perlindungan masyarakat terdampak, ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan umum yang sudah ada, berpotensi untuk diabaikan atau pelaksanaannya melenceng (implementation gap).
Hal tersebut disampaikan Fani dalam diskusi “Partisipasi Publik sebagai Elemen Kunci dalam Transisi Energi yang Adil di Indonesia” yang diselenggarakan oleh PSHK dan Yayasan Indonesia Cerah pada Selasa (17/10/2023) secara daring.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhammad Saleh menuturkan bahwa kebijakan transisi energi yang adil sangat penting untuk membantu memastikan bahwa transisi energi inklusif secara sosial. Dalam kasus Indonesia, transisi yang adil dapat memberikan jaring pengaman dan dukungan aktif kepada masyarakat yang saat ini berada dalam rantai nilai bahan bakar fosil. Oleh karena itu, kehadiran skema Pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) menjadi krusial karena, jika terlaksana, Indonesia dapat mempercepat rencananya untuk mencapai kondisi emisi bersih sektor ketenagalistrikan pada 2040 dan mendorong transisi energi yang adil serta mempertimbangkan kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang.
Sayangnya, dalam survei opini publik tingkat nasional yang dilakukan CELIOS dan Yayasan Indonesia Cerah pada Juli 2023, 76 persen responden masih belum memiliki literasi mengenai JETP dan tidak mengetahui mengenai pendanaan dengan skema JETP di Indonesia. Kemudian, studi dilanjutkan untuk mengulas ragam tantangan pada aspek kebijakan dan regulasi yang dilakukan pada enam Pemerintah Daerah yang terdiri dari tiga Provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra Utara, serta tiga Kabupaten yaitu Cilacap, Probolinggo, dan Langkat. Hasilnya adalah keenam daerah tersebut belum mendapatkan informasi jelas mengenai skema dan persiapan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap perencanaan JETP.
Policy Researcher Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra G. Raseukiy menyoroti kesenjangan pelibatan perempuan dan kelompok masyarakat adat dalam pelaksanaan transisi energi. Hayaa—begitu ia biasa disapa—mengungkapkan lima kriteria kunci pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Pertama, sadari adanya kesenjangan kekuasaan dengan mengukur siapa yang diuntungkan dari suatu kebijakan lingkungan, memperhatikan konteks lokal serta posisi perempuan, disabilitas, kelas pekerja, dan kelompok adat. Kedua, inklusif dengan memahami bahwa sistem yang diskriminatif pada perempuan dalam struktur sosial, dan perlunya investasi menyediakan cara khusus untuk perempuan. Ketiga, melindungi alam dengan memastikan perusahaan, kondisi politik, dan kepentingan ekonomi tidak mengesampingkan alam sebagai elemen aktif. Keempat, bangun kolaborasi dengan aktivisme tingkat tapak. Terakhir, transisi ke model ekonomi hijau.
Terkait dengan persoalan penggusuran warga di Pulau Rempang, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau Boy Jerry Even Sembiring mengungkapkan bahwa investasi besar yang dilakukan tanpa partisipasi yang bermain dengan masyarakat. Investasi besar yang dilakukan di Rempang-Galang juga akan mengancam pulau-pulau kecil di sekitar seperti dikeruknya pasir laut, ancaman polusi udara dari aktivitas pabrik, serta intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan dari aparat. Evan juga menegaskan bahwa yang terjadi di Rempang merupakan logika kapitalisme yang memutus relasi antara manusia dengan komponen ekologis lainnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Project Assistant Just Energy Transition (JET) Yayasan Indonesia Cerah Azlina Fitri Mujtahi tersebut dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.