Simposium Nasional Hukum Tata Negara diselenggarakan oleh Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Yogyakarta, pada 29-30 Juni 2019. Simposium Nasional HTN kali ini mengangkat tema tentang “Penataan Pengaturan Organisasi Sayap Partai Politik” dengan salah satu sub tema “Eksistensi Organisasi Sayap Partai Politik dalam Sistem Politik di Indonesia”.
Dalam simposium nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta tersebut, turut hadir Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal sebagai peserta call of paper dengan makalahnya yang berjudul “Peran Organisasi Sayap Partai Politik dalam Menangkal Delegitimasi Pemilihan Umum”. Topik tersebut diangkat karena sedang gencar terjadi upaya delegitimasi pemilihan umum pada saat pemilu serentak 2019 berlansung.
Dalam makalah yang dipresentasikannya tersebut, Agil menguraikan bahwa di era digital sekarang, pemilihan umum kian mendapat tantangan kompleks. Penyebaran informasi yang begitu cepat dan cenderung tak terkendali menyebabkan beban kerja penyelenggara pemilu juga makin meningkat, terutama untuk menangkal informasi yang tidak benar terkait pemilu maupun penyelenggaraan pemilu. Misalnya, hoaks tujuh kontainer berisi surat suara yang sudah tercoblos untuk pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, KTP elektronik tercecer, isu mobilisasi warga negara asing untuk memilih, dan sistem informasi penghitungan suara (Situng) yang dicurigai sebagai upaya untuk melakukan kecurangan, serta isu-isu lain yang ditujukan untuk menyerang penyelenggara pemilu.
Menurut Agil, disinformasi ini dapat mengancam banyak aspek, salah satunnya legitimasi KPU dan Bawaslu sebagai penyelanggara pemilu sehingga kepercayaan publik terhadap pemilu menurun (delegitimasi pemilu). Selama ini, upaya penegakan terkait itu selalu yang dikedepankan adalah upaya hukum. Baik penegakan UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur larangan penyebaran hoaks oleh peserta, pelaksana, atau tim kampanye ataupun melalui UU 19/2016 tentang ITE terkait penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yang tersebar di media sosial. Akan tetapi upaya preventif dengan memanfaatkan organisasi sayap partai politik (OSP) sebagai garda yang dapat dikedepankan dalam menangkal delegitimasi Pemilu luput dari perhatian. Padahal, keberhasilan pemilu ditentukan oleh banyak aspek, salah satunya peran parpol melalui OSP yang kedudukannya berdasarkan teori pengikatan tidak bisa dipisahkan dari parpol. Dalam hal ini menurut Agil, ada empat hal yang dapat dilakukan OSP untuk menjaga integritas dan legitimasi pemilu.
Pertama, mendorong dan mengajak publik untuk tidak mudah percaya terhadap informasi yang diterima, terutama di media sosial. OSP harus bersikap kritis dan bijak dalam menilai sebuah pemberitaan, jangan ikut arus dan ikut menyebarkan berita yang tidak benar, kenali situsnya, isi pemberitaannya, serta siapa yang menyampaikannya. Sedapat mungkin OSP melakukan klarifikasi seluas-luasnya kepada masyarakat bahwa telah terjadi pemberitaan yang tidak benar. Jalankan prinsip verifikasi karena salah satu instrumen dalam mencari kebenaran adalah verifikasi.
Kedua, menciptakan gagasan yang mendukung penyelenggaraan pemilu dan menguntungkan partai politik. OSP dapat mengupayakan semaksimal mungkin menciptakan isi pemberitaan yang memiliki nilai edukatif. Contohnya dengan meluruskan segala informasi yang menyerang penyelenggara pemilu. Selain itu, dengan menampilkan gagasan dan visi misi yang benar-benar mampu menjawab segala persoalan rakyat. Lakukan metode kampanye yang inovatif di media sosial untuk bisa meraih simpati pemilih. Adu gagasan yang sehat antar para kontestan dan menghindar dari hal yang mengarah pada ujaran kebencian, apalagi ujaran kebencian yang juga ditujukan kepada penyelenggara Pemilu.
Ketiga, bersinergi dengan aparat penegak hukum. Sebagai organisasi yang lahir dan besar di suatu partai politik, jika ada berita yang tidak benar yang menyerang penyelenggara pemilu, segera laporkan ke penegak hukum. Begitu juga jika parpol atau calon pemimpin yang diusung diserang isu tak benar, jangan menyebarkan informasi tersebut ke sesama anggota OSP karena akan memunculkan kemarahan yang meluas atau malah membuat berita bohong lagi untuk menyerang si pembuat berita. Usahakan segera melapor ke penegak hukum agar penyebar informasi di usut dan diberikan hukum sesuai ketentuan yang berlaku.Keempat, bersinergi dengan penyelenggara pemilu. Jika ada isu atau pemberitaan yang tidak benar terkait penyelenggaraan atau kinerja penyelenggara pemilu, selain penyelenggara yang harus menyampikan lebih awal kepada publik terkait klarifikasi atas isu krusial yang dihadapi, organisasi sayap partai politik juga harus ikut bersama-sama mengklarifikasi kebenaran berita tersebut, dan sebisa mungkin informasi tentang tahapan pemilu, anggaran pemilu, pengadaan alat pemilu, dan segala hal terkait persiapan penyelenggaraan pemilu lainnya harus bersama-sama antara penyelenggara, parpol dan OSP menyampaikan kepada publik agar publik mendapatkan informasi awal sebelum isu hoaks muncul ke permukaan. Hal itu perlu karena sejauh ini isu hoaks yang beredar telah berhasil meneror penyelenggara pemilu agar publik menjadi semakin tidak percaya terhadap kinerja yang telah dilakukan oleh para penyelenggara. Oleh karenanya, tindakan preventif ini perlu dilakukan oleh penyelenggara, parpol, serta OSP untuk menyampaikan informasi yang benar kepada publik, agar pemilu berjalan kondusif, jujur, dan adil sehingga hasil pemilu bisa dihargai karena pemilu terselenggara dengan legitimasi yang kuat dari rakyat. (AO)