Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya dapat ditempuh oleh terpidana atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada dasarnya, upaya PK dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin dilakukan oleh hakim. Salah dan keliru adalah bagian dari menjadi manusia, karenanya individu berhak untuk mendapatkan putusan yang benar dan putusan itu harus dilindungi.
Di Indonesia, fungsi PK yang lebih mengemuka, baik dalam regulasi maupun pendapat para ahli dan praktisi, adalah mengoreksi kesalahan (correction of error) pada putusan final. Fungsi lainnya, yaitu menjaga finalitas (maintaining finality) putusan pengadilan, hampir tidak ada yang menyinggung. Selain itu, PK juga kerap dianggap sebagai “tahapan peradilan keempat” atau “banding ketiga” Bahkan pada perkara-perkara tertentu, PK seolah dijadikan sebagai pengganti dari upaya banding biasa.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Anggota Board PSHK, Binziad Kadafi, Ph.D., dalam diskusi bertajuk “Prinsip Finalitas dalam Putusan Pengadilan di Indonesia” di Kampus STH Indonesia Jentera, Selasa (20/2/2020) lalu. Diskusi itu dimaksudkan untuk membahas disertasi karya Kadafi berjudul “Finality and fallibility in the Indonesian revision system: Forging the middle ground” yang telah dipertahankan dalam sidang terbuka di Tilburg University, Belanda, pada Desember 2019.
Lebih lanjut, Kadafi memaparkan sejumlah alasan yang biasa digunakan oleh sebagian kalangan yang menentang PK, seperti biaya yang mahal, dianggap mengancam reputasi peradilan di mata publik, tidak berguna bagi terdakwa, berpotensi membatasi hak terdakwa karena prospek tuntutan ulang, kurang akurat karena lewatnya waktu, serta lokasi pengadilan yang jauh. Sebaliknya, pendapat yang mendukung PK didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu PK dapat mengoreksi kesalahan, meningkatkan akurasi putusan, memulihkan kepercayaan publik, mendorong perdamaian di masyarakat, serta mendorong kesatuan.
Dalam tanggapannya, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, menilai disertasi karya Kadafi tersebut merupakan jembatan antara pihak yang menolak dan setuju dengan PK. Lebih lanjut, Topo menilai fungsi PK untuk menjaga finalitas putusan pengadilan dalam konteks Indonesia sangat sulit diterapkan mengingat terlalu banyaknya variabel yang harus dipenuhi. Ia juga berharap temuan Kadafi dalam disertasinya dapat menjadi bahan bacaan penting dan dibahas oleh para pengambil kebijakan. Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri Damayana tersebut dihadiri oleh komunitas hukum dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, peneliti, pengacara, akademisi, hingga lembaga donor.
Video diskusi dapat disaksikan di sini, sementara disertasi lengkap dapat di halaman ini.