Pembentukan regulasi selama era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai cenderung tidak terkendali, salah satunya ditunjukkan oleh peningkatan jumlah regulasi yang signifikan dibandingkan periode 2000–2015. Padahal, reformasi regulasi menjadi salah satu agenda prioritas yang dijanjikan Jokowi pada masa kampanye. Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana dalam diskusi bertajuk “Habis Gelap Terbitlah Kelam” pada Senin (14/10/2019) lalu di Jakarta.
Selain persoalan kuantitas, Gita juga mengangkat persoalan kualitas produk legislasi, misalnya substansi sejumlah ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang cenderung ambigu dan kabur. Proyeksi PSHK atas situasi lima tahun ke depan yang dipaparkan Gita itu juga menunjukkan adanya gejala partisipasi publik yang menurun sekaligus konsolidasi elite politik yang meningkat. Kondisi itu ditunjukkan dari proses legislasi belakangan ini yang banyak diwarnai pengabaian terhadap partisipasi masyarakat. Salah satunya, proses revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang terlihat sangat dijauhkan dari dinamika publik.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula narasumber dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan KoDe Inisiatif. Ketua YLBHI Asfinawati menyoroti isu penegakan hukum dalam kelembagaan kepolisian dan kejaksaan. Menurut YLBHI, penegakan hukum akhir-akhir ini telah disalahgunakan menjadi alat kriminalisasi. Hal itu terjadi karena beberapa hal, antara lain, minimnya akuntabilitas dalam penentuan tersangka hingga penahanan, serta adanya pembatasan akses terhadap penasihat hukum. Praktik penunjukan penasihat hukum oleh penyidik bagi tersangka/terdakwa yang terjadi selama ini dianggap menggangu independensi dan objektivitas dalam pembelaan.
Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengangkat persoalan mandeknya perkembangan agenda reformasi di tubuh partai politik, korupsi sektor peradilan, serta periode kedua Pemerintahan Jokowi yang disebutnya sebagai the curse of second period atau kutukan periode kedua. Menurutnya, dalam berbagai praktik pemerintahan, periode kedua memiliki kecenderungan tidak berjalan secara optimal. Pada konteks pemerintahan saat ini, amat disayangkan pula bahwa capaian Nawacita tidak pernah dibahas oleh Jokowi sebagai panduan untuk menjalankan pemerintahan. Ditambah lagi, isu terkait lembaga-lembaga negara hasil reformasi—termasuk KPK—sering kali tidak menjadi fokus, yang salah satunya tergambar dari tidak adanya perkembangan penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Diskusi “Habis Gelap Terbitlah Kelam” digagas oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan tujuan untuk memberi gambaran proyeksi atas situasi Indonesia lima tahun ke depan. Selain tema penegakan hukum, seri diskusi berikutnya akan mengangkat tema-tema demokrasi, sumber daya alam, lingkungan, serta hak asasi manusia. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang akan menyampaikan proyeksi atas tema-tema tersebut, yaitu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Greenpeace, Perludem, Seknas FITRA, dan lain-lain. (arif)