Makassar– Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Pusat kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mengadakan seminar Reformasi Regulasi pada Selasa (2/4/2019) di Makassar.
Seminar ini menghadirkan empat pembicara, yakni Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin Abdul Razak, Tim Sekretariat Reformasi Regulasi Moh. Iksan Maolana, Biro Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Hernawati Tahir dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Ronald Rofiandri. Seminar ini juga dihadiri oleh puluhan perwakilan pemerintah daerah dan akademisi yang ada di Sulawesi Selatan, diantaranya Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Muslim Indonesia (UMI) Makassar A. Muin Fahmal dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Hamzah Halim.
Abdul Razak mengungkapkan bahwa dari sisi produk peraturan perundang-undangan, terdapat permasalahan pada tata urutan peraturan perundanga-undangan yang menyebabkan pembentukan undang-undang dan peraturan daerah belum maksimal. “Produk peraturan perundang-undangan kita bermasalah mulai dari tata urutan peraturan perudang-undangan yang menyebabkan pembentukannya juga bermasalah, baik tingkat undang-undang maupun di tingkat daerah”, ungkapnya.
Sementara itu, Moh. Iksan Maolana mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai lebih dari 150.000 regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kondisi ini memicu terjadinya ketidakpastian hukum karena banyak ditemukan aturan yang saling tumpang tindih. Oleh sebab itu, agenda reformasi regulasi direncanakan sejak 2009.
“Kita memiliki lebih dari 150.000 peraturan, baik ditingkat pusat maupun daerah. Kondisi ini menyebabkan banyak aturan yang tumpang tindih dan kondisi ini pula yang mendorong adanya agenda reformasi regulasi yang sudah digagas sejak 2009” tegasnya.
Hernawati Tahir yang merupakan narasumber ketiga mengungkapkan tentang permasalahan yang menyebabkan produk hukum daerah tidak ideal. Menurutnya, ada beberapa regulasi yang tumpang tindih dan menyebabkan kebingungan dalam penerapan tentang aturan mana yang harus diikuti. Bahkan, terkadang hanya berupa surat edaran tapi dapat membatalkan undang-undang. Ia juga mengungkapkan dalam pembuatan Perda, terkadang Kabupaten/Kota tidak melakukan konsultasi pada Biro hukum Provinsi, akibatnya terdapat Perda yang sudah dilakukan pembahasan dan studi banding harus dihentikan karena ternyata kewenangan dalam membuat Perda tersebut bukan kewenangan kab/kota.
Sementara itu, Ronald Rofiandri mengungkapkan tentang peran penting masyarakat dalam pembentukan regulasi di DPR. “Semua kelompok dan elemen masyarakat berperan terhadap reformasi regulasi. Dalam hal pembentukan Undang-Undang, DPR bukan hanya pabrik undang-undang tetapi harus merespon kebutuhan yang memang layak dan sepadan untuk direspon di tingkat undang-undang” ungkapnya.
Ronald menambahkan bahwa terdapat permasalahan dalam siklus legislasi Indonesia yang seringkali berhenti hanya sampai pada tahap pengundangan saja, sehingga terdapat ketidaksesuaian anatara pembuatan regulasi dengan perencanaan dan arah pembangunan, ketidaksesuaian dengan materi muatan, ketidakefektifan dengan implementasi, serta tumpang tindih kewenangan lembaga. (AP)