Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi dan peneliti PSHK, Auditya Saputra menjadi narasumber dalam FGD (focus group discussion) Penyusunan Kajian Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. FGD tersebut diselenggarakan oleh Direktorat Instrumen HAM, Kementeriam Hukum dan HAM RI secara daring pada Selasa (24/5/2022).
Dalam kesempatan tersebut, PSHK memaparkan materi mengenai kebijakan antidiskriminasi bagi kelompok rentan. Saat ini terminologi kelompok rentan masih belum jelas dan cenderung memberikan label kepada kelompok tertentu. Sempitnya ruang lingkup dan terminologi kelompok rentan berdampak pada bias dan minimnya kelompok rentan yang terlindungi oleh kebijakan Pemerintah atau pemerintah daerah.
Misalnya, dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan ‘penyandang cacat’. Sebagai pembanding, Human Rights Reference menggolongkan kelompok rentan termasuk antara lain pengungsi (refugees); pengungsi internal atau Internally Displaced Persons (IDPs); warga negara minoritas (national minorities); pekerja migran (migrant workers); masyarakat adat (indigenous peoples); anak-anak (children); dan perempuan (women). Terlihat, cakupan kelompok rentan yang dimiliki Indonesia masih terbilang sempit karena belum memasukan banyak kelompok lainnya, yang juga rentan mengalami risiko-risiko ke dalam kategori tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi definisi “kelompok rentan”, yang tidak berdasar kepada identitas, tetapi kepada faktor risiko yang lebih luas dengan melihat kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, ataupun kerentanan lingkungan. Keterbatasan definisi mempengaruhi problem turunan pada dimensi struktur (kelembagaan, peraturan turunan) dan pada akhirnya bermuara pula pada kultur (pemahaman masyarakat).
Selain itu, minimnya pemahaman aparat penegak hukum tentang kelompok rentan sehingga tidak sensitif dalam menangani kasus-kasus berdimensi masyarakat rentan. Fajri juga menilai partisipasi kelompok rentan masih sangat minim dalam perancangan kebijakan, ini disebabkan masih adanya syarat diskriminatif seperti syarat sehat jasmani dan rohani dalam persyaratan pekerjaan.
Untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, terdapat pilihan kebijakan yang dapat ditempuh. Pertama, dengan membentuk undang-undang baru tentang antidiskriminasi kelompok rentan. Cara ini dapat mendorong penginklusian hak-hak kelompok masyarakat tertentu yang secara praktik terbilang rentan namun belum diakomodasi oleh undang-undang, disamping memasukkan sanksi preemtif bagi hal-hal yang belum lengkap diatur dalam norma saat ini kedalam UU yang baru. Meski begitu, membentuk UU baru akan memakan waktu lebih lama karena prosesnya yang panjang, memerlukan kehendak politik pemerintah dan DPR, serta perlu usaha ekstra advokasi kebijakan.
Kedua, dengan merevisi UU HAM. Saat ini revisi UU HAM sudah masuk Prolegnas 2019-2024 dan Kemenkumham sebagai pemrakarsa sudah memulai proses untuk penyusunan Naskah Akademik. Revisi ini perlu mendorong ketentuan-ketentuan mencakup definisi kelompok rentan dicantumkan dalam ’Ketentuan Umum’ dengan berbasis kepada potensi resiko, mencantumkan contoh kelompok masyarakat yang masuk dalam kelompok rentan berdasarkan potensi resiko, mencantumkan prinsip antidiskriminasi dan langkah afirmasi (affirmative action), dan mendorong dimasukannya ‘Bab Pengaturan tentang Hak Kelompok Rentan’ untuk mengelaborasi bentuk-bentuk tindakan afirmasi yang menjadi kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah.
Ke depan, pembahasan mengenai Naskah Akademik maupun draft RUU Revisi UU HAM perlu terus dikawal dan melibatkan publik, khususnya dari kelompok rentan, untuk memberikan masukan dan mendapatkan respon dari perancang sebagai bentuk dari partisipasi yang bermakna. Pelibatan dari berbagai kelompok rentan akan memperkaya rumusan dan menghindari adanya ketentuan-ketentuan yang diskriminatif. Sangat diharapkan revisi terhadap UU HAM menjadi langkah awal penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM yang merata di Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945.