Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menghadiri Asia Citizen Future Week (ACFW) 2024: Taiwan and Southeast Asia Civic Space Forum yang diselenggarakan oleh Asia Citizen Future Association (ACFA) pada 30 Oktober – 1 November di Taipei, Taiwan. Dalam kegiatan ini, PSHK diwakili oleh Direktur Eksekutif Rizky Argama, Manajer Program Violla Reininda, dan Peneliti Alviani Sabillah.
ACFW 2024 bertujuan untuk membuka ruang dialog dan kolaborasi untuk mempertahankan dan memperluas ruang gerak masyarakat sipil yang terus menyempit di wilayah Asia Tenggara. Selain PSHK, organisasi masyarakat sipil (OMS) yang turut bergabung di ACFW 2024 adalah KontraS, Human Rights Working Group (HRWG), dan sejumlah OMS dari Malaysia, Filipina, Myanmar, dan Thailand.
Dalam kesempatan tersebut, PSHK menyebarluaskan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia disebabkan oleh sejumlah regulasi antidemokrasi dan penyalahgunaan dalam penegakan hukum. Selain itu, Peneliti PSHK Alviani Sabillah juga menjadi narasumber dalam side event bertajuk “The Death Penalty and Human Rights in Indonesia and Taiwan: The Impact of Controversial and Criminal Bills” yang diselenggarakan oleh KontraS.
Fani—begitu ia biasa disapa—menyampaikan persoalan regulasi hukuman mati di Indonesia yang telah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda dan terus diberlakukan hingga kini. Pemerintah Indonesia terus menerapkan hukuman mati meskipun ada tekanan dari seluruh dunia untuk menghapusnya dengan alasan keselamatan masyarakat dan pencegahan kejahatan. Saat ini, terdapat 12 peraturan yang memuat hukuman mati di Indonesia. “Pengaturan hukuman mati di Indonesia diatur dalam berbagai sektor, tidak hanya terbatas pada pengaturan tindak pidana tetapi juga dalam undang-undang lain yang terkait dengan narkotika, korupsi, terorisme, bahkan ekonomi,” ungkap Fani.
Lebih lanjut, Fani menyampaikan bahwa hukuman mati memberikan penderitaan berlapis, utamanya pada perempuan yang dijatuhi vonis hukuman mati. Menurut penelitian yang dilakukan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, stigma sosial dan perlakuan diskriminatif selama proses hukum hingga dalam rentetan deret tunggu berakibat pada penderitaan psikologis bagi perempuan terpidana mati.
Selain Fani, Hans G. Yoshua dari KontraS dan Shih Yi-hsiang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut. Diskusi “The Death Penalty and Human Rights in Indonesia and Taiwan: The Impact of Controversial and Criminal Bills” dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube KontraS.