Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Bahkan Prolegnas juga dapat berperan sebagai gambaran dari arah politik hukum Indonesia, yang melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai panduan arah kebijakan pembangunan di Indonesia.
Meski begitu, Prolegnas kerap diabaikan, bukan hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh para pembentuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Capaian Prolegnas setiap tahunnya juga tidak pernah memenuhi target, pada 2019 dari 55 RUU yang menjadi prioritas, hanya berhasil disahkan sebanyak 12 RUU; sedangkan pada 2020 lebih buruk, yaitu hanya 3 RUU dari 50 RUU yang diprioritaskan.
Menurut Kepala Badan Keahlian (BK) DPR, Inosentius Samsul, perbaikan kualitas Prolegnas perlu dilakukan dengan menyinkronkan Prolegnas dengan perencanaan pembangunan; pengetatan agenda legislasi; dan perlunya pengambilan kebijakan yang berbasis bukti atau evidence-based policy making.
Hal tersebut disampaikan dalam webinar bertajuk “Meneropong Prolegnas Prioritas 2021” yang diselenggarakan secara daring oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember pada Senin (1/3/2021). Selain menghadirkan Ketua BK DPR sebagai pembicara kunci, hadir pula Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember, Rosita Indrayati, Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan FH Universitas Airlangga, Radian Salman, dan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi sebagai narasumber.
Sebagai sebuah dokumen perencanaan, seharusnya pengesahan Prolegnas dilakukan sebelum masuk tahun berjalan. Namun hingga awal Maret 2021, Prolegnas 2021 belum juga disahkan. Hal ini tentu berdampak pada terhambatnya kinerja legislasi DPR dan Pemerintah. Inosentius menuturkan bahwa penundaan pengesahan Prolegnas 2021 tidak terlepas dari kompromi politik antara Fraksi di DPR.
Fajri menilai keterlambatan pengesahan Prolegnas 2021 merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang menyebutkan bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang APBN. Penetapan RUU tentang APBN sendiri, berdasarkan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, sehingga pada akhir Oktober setiap tahunnya RUU APBN sudah harus disahkan.
Menurut Fajri, selain keterlambatan terdapat tantangan lain dalam penyusunan Prolegnas, antara lain kewibawaan Prolegnas sudah sangat lemah karena capaian setiap tahunnya tidak pernah tercapai; publik hanya mendapat informasi Prolegnas sebatas judul RUU; minimnya akses partisipasi karena pandemi Covid-19; dan informasi yang tersedia di website DPR tidak aksesibel bagi kelompok rentan seperti kelompok disabilitas netra.
Untuk memperbaiki kualitas Prolegnas, Fajri menyampaikan lima rekomendasi, yakni perlu harmonisasi Prolegnas dengan arah perencanaan pembangunan; disiplin mematuhi batas waktu pengesahan; transparansi Prolegnas dengan menyertakan Naskah Akademik dan draf RUU; selalu update perkembangan pembahasan RUU melalui berbagai kanal; dan wujudkan Prolegnas yang inklusif.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PUSKASPSI FH Universitas Jember, Nando Mardika dapat disaksikan ulang di kanal Youtube FH Universitas Jember.