Komisi III DPR RI akan segera melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada masa sidang ke-II yang berakhir pada 21 Maret 2025. RUU KUHAP merupakan hukum pidana formal yang mengatur mengenai cara melaksanakan hukum pidana materil dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).
Menurut Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi, agenda reformasi KUHAP merupakan kesempatan untuk menyesuaikan kembali cara pandang dengan beberapa prinsip dalam konvensi internasional seperti Pasal 15 Konvensi Menentang Penyiksaan, Pasal 9 (4) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang bertujuan agar pengadilan tidak menunda-nunda persidangan, dan Pasal 13 (1) Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang memuat jaminan negara atas akses efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas.
Penyesuaian cara pandang tersebut juga berlaku dengan norma-norma yang diatur dalam peraturan lain seperti seperti soal alat bukti yang dimuat di UU TPKS, UU ITE, dan Tipikor, serta harmonisasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan keberlakuan norma-norma yang diatur dalam KUHAP.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi kelompok terpumpun bertajuk “Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)” yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai NasDem pada Jumat (31/1/2025) di Gedung Nusantara I DPR RI.
Reformasi KUHAP saat ini juga harus membangun kembali sistem pertanggungjawaban yang meliputi konsekuensi atas pelanggaran hukum acara pidana. Hukum acara pidana bukan sekadar prosedur administrasi, tetapi juga prosedur untuk menjamin terciptanya keadilan dan bentuk pelindungan negara terhadap hak warga negara (tersangka, saksi, korban), sehingga wajib dilakukan. Untuk itu perlu dibangun mekanisme saling mengawasi dan kewenangan yang saling mengimbangi dalam pelaksanaan hukum acara pidana antara para lembaga penegak hukum. “Pelanggaran atas hukum acara bermakna keadilan prosedural tidak tercapai dan melanggar hak seseorang,” ungkap Fajri.
Selanjutnya, reformasi KUHAP juga bisa menjadi sarana untuk merumuskan ulang norma. Misalnya, dengan menggunakan norma wajib, dapat, dan dilarang terhadap pasal pasal yang mengatur hukum acara karena penggunaan norma “wajib” (dibandingkan “harus”) atau “dilarang” akan berkonsekuensi kepada sanksi jika dilanggar.
Fajri juga mengusulkan untuk mengubah format pasal yang menekankan kepada hak, menjadi kewajiban, larangan, atau kebolehan. Ketentuan dengan penekanan kepada hak bersifat pasif dan tidak menjelaskan siapa yang bertanggung jawab. Menurutnya, setiap ketentuan perlu menegaskan apa yang perlu dilakukan, tidak boleh dilakukan, atau suatu pilihan untuk dilakukan.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi kelompok terpumpun adalah Sekretaris Mahkamah Partai DPP Partai NasDem Regginaldo Sultan dan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati.