Pemilu 2019 menyisakan berbagai persoalan seperti beban kerja penyelenggara Pemilu adhoc yang begitu berat, adanya proses seleksi penyelenggara Pemilu yang tidak serentak, sampai dengan persoalan keterwakilan perempuan di penyelenggara Pemilu.
Padahal, penyelenggara Pemilu merupakan aktor yang sangat penting untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana dengan baik dan berintegritas. Di sisi lain, penyelenggara Pemilu juga harus dijamin kesehatan dan keselamatannya serta harus dipastikan proses rekrutmen dilakukan secara ideal.
Menyikapi hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun bertajuk Refleksi dan Penataan Penyelenggara Pemilu Menuju Pemilu Serentak 2024 secara daring pada Jumat (25/11/2022). Kegiatan ini melibatkan 10 perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan akademisi yang selama ini mendorong dan membantu pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu dalam mereformasi hukum Pemilu.
Dalam diskusi tersebut, Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Arief Budiman, menyampaikan bahwa masa orientasi tugas harus dilakukan secara simultan dengan pelaksanaan tahapan pemilu atau pemilihan, sehingga anggota KPU Provinsi/Kab/Kota terseleksi dapat segera beradaptasi dengan tugas tahapan Pemilu. “Yang paling penting adalah masukan pelaksanaan seleksi penyelenggara Pemilu yang ideal, seluruh seleksi KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota harus dilaksanakan serentak di tahun 2025,” ungkap Arief.
Arief, yang menjadi Ketua KPU RI periode 2017-2021, menilai pemerintah perlu membuat regulasi terkait keserentakan yang merujuk pada siklus elektoral seleksi anggota KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota sehingga pelaksanaan pemilu dapat optimal. Proses seleksi yang menyesuaikan dengan visi keserentakan dapat menguatkan kelembagaan, memudahkan regenerasi, dan peralihan kepemimpinan.
Abhan, Ketua Badan Pengawas Pemilu periode 2017-2022, membahas permasalahan beban kerja penyelenggara pemilihan umum yang meninggal. Pada Pemilu 2014, jumlah penyelenggara pemilu yang meninggal dunia ada sebanyak 144 orang, kemudian di 2019 jumlahnya bertambah menjadi 894 orang meninggal dunia dan 5.175 orang sakit. “Semoga hal ini dapat menjadi catatan bagi penyelenggara pemilu saat ini agar jangan sampai kejadian di tahun 2019 ini terulangi. Begitu beban kerja yang begitu tinggi pada akhirnya menyebabkan banyak korban meninggal,” ungkapnya.
Peneliti Perludem, Heroik Pratama, menuturkan bahwa sejak awal desain keserentakan Pemilu menyisakan beberapa persoalan seperti model lima surat suara yang menimbulkan beban tinggi kepada penyelenggara pemilu dengan waktu kerja di atas 20 jam sehingga berdampak pada kesehatan penyelenggara pemilu. “Perludem mengusulkan desain keserentakan kita itu bukan serentak lima suara, tetapi serentak nasional yang terdiri dari pemilu Presiden, DPR, dan DPD lalu kemudian serentak daerah dengan ada jeda waktu kurang lebih 2 tahun untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota atau yang kita kenal dengan istilah pemilu yang konkruen,” tutur Heroik.
Sementara itu, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai terdaoat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas Pemilu yakni profesionalisme dan independensi penyelenggara pemilu serta tata kelola penyelenggaraan pemilu. “Jadi memang tantangan kita adalah bagaimana memastikan aspek aktor pemilu, karena aktor penting dalam hal memastikan kualitas penyelenggaraan pemilu kita yang bersih,” tutur Arya.