Pengaturan tentang tata kelola internet wajib mempertimbangkan aspek pelindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang ditarik ke dalam konteks digital. Dalam studi pemetaan regulasi internet di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan SAFEnet menunjukkan bahwa pengaturan mengenai tata kelola internet yang tersebar di beberapa undang-undang masih bersifat sektoral dan tidak secara eksplisit meregulasi ruang digital.
Menurut Peneliti PSHK Alviani Sabillah ada tiga landasan utama tata kelola internet yang ideal, yaitu akses internet, proteksi dan keamanan data, serta kebebasan berekspresi. “Tiga aspek tersebut menjadi pisau analisa kami dalam melihat pemetaan dan juga implementasi regulasi tata kelola internet di Indonesia,” ungkapnya. Dari pemetaaan yang dilakukan, terdapat beberapa peraturan yang telah memenuhi hak untuk memperoleh dan mendistribusikan informasi seperti UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Pers. Sayangnya, secara praktik masih bermasalah karena pemerintah memiliki kewenangan besar untuk membatasi informasi, memoderasi konten, atau memutus akses internet, yang juga diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan bertajuk “Tata Kelola Internet yang Ideal di Indonesia” yang diselenggarakan oleh PSHK dan SAFEnet pada Kamis (12/12/2024) secara daring.
Fani—begitu ia biasa disapa— menuturkan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE juga masih berorientasi untuk melindungi kepentingan negara, sehingga menyampingkan proteksi dan penjaminan keamanan digital bagi masyarakat. Hal ini beririsan erat dengan kebebasan berpendapat dan akses dalam memperoleh informasi yang dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap hak sipil dan hak politik dikarenakan tidak adanya peraturan yang jelas terkait dengan kebebasan hak sipil itu sendiri.
Hal berbeda justru muncul pada Undang-Undang Pers yang telah memberikan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat, larangan sensor, jaminan mengakses dan mendapat informasi yang akurat dan aktual bagi kalangan pers. Tetapi, jaminan terhadap kebebasan sensor masih diterapkan parsial. “Sudah seharusnya kebebasan dalam berpendapat dapat dinikmati oleh pers, juga masyarakat secara umum, dalam konteks penyampaian pendapat dan ekspresi di ruang digital,” ujar Fani.
Melalui studi pemetaan regulasi internet tersebut, PSHK dan SAFEnet merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi regulasi secara komprehensif dengan menyeimbangkan aspek akses, proteksi, keamanan, serta kebebasan, yang dapat dimulai dengan pembentukan tim lintas sektor yang melibatkan masyarakat sipil untuk pemetaan regulasi dalam penyusunan tata kelola internet. Presiden juga perlu melakukan pengawasan kepada Kepolisian dan Kejaksaan agar memiliki perspektif hak asasi manusia dan pelindungan korban dalam penegakkan hukum di ruang digital. Peran pemerintah juga dibutuhkan dalam pembentukan peraturan, peningkatan kompetensi, serta transparansi dan akuntabilitas terkait tata kelola internet di ruang digital.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2024, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Dalam Seri Diskusi FKP kali ini, Peneliti SAFEnet Tessa Ardhia juga hadir sebagai narasumber dan Peneliti PSHK Bugivia Maharani sebagai moderator. Seri Diskusi FKP bertajuk “Tata Kelola Internet yang Ideal di Indonesia” dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.