Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk dalam prioritas adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Hingga saat ini, draf RUU tentang Jalan dinilai belum memperhatikan fasilitas bagi penyandang disabilitas.
Menurut Manajer Program & Koordinator Advokasi Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti, RUU tentang Jalan harus memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas dengan mengatur aksesibilitas untuk infrastruktur jalan; aksesibilitas sarana, prasarana, dan perlengkapan jalan; partisipasi masyarakat sipil dalam perencanan, pembangunan, dan evaluasi; standar keamanan dan aksesibilitas pada jalan; standar audit keamanan dan aksesibilitas jalan; mekanisme pengaduan tentang kealpaan pengaturan jalan dan bahaya akibat dari infrastruktur jalan; dan sanksi terhadap perdata dan pidana jika terjadi bahaya akibat infrastruktur jalan.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Jalan: Membangun Infrastruktur Jalan Berbasis Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Selasa (21/9/2021).
Menurut peneliti Center for Universal Design & Diffability (CUDD) Universitas Gadjah Mada (UGM), Wijang Wijanarko, kebijakan pemerintah masih belum dapat mewakili keadilan publik karena aturan-aturan yang ada cenderung memberikan ruang bagi kendaraan yang notabene memiliki kekuatan dan kemudahan dibanding pejalan kaki, apalagi pejalan kaki yang memiliki gangguan mobilitas seperti penyandang disabilitas.
Padahal, semua orang tanpa terkecuali harus bisa mencapai, masuk, dan menggunakan semua fasilitas yang ada di lingkungan publik, tanpa merasa menjadi “obyek belas kasihan” apalagi “pelecehan hak sosial”.
Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama, menuturkan bahwa RUU tentang Jalan bertujuan untuk mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat dengan memenuhi kinerja Jalan yang laik fungsi dan berdaya saing. Pemenuhan kinerja dapat dievaluasi melalui pelaksanaan Standard Pelayanan Minimum (SPM) jalan.
Menurutnya, RUU tentang Jalan yang saat ini tengah dibahas belum mengatur kebutuhan penyandang disabilitas. Tapi, kebutuhan penyandang disabilitas dapat dimasukkan secara rinci melalui SPM jalan.
“Saya akan memperjuangkan adanya pengarusutamaan penyandang disabilitas dengan memastikan aksesibilitas penyandang disabilitas pada Ruang Manfaat Jalan, melalui penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan.” ujar Suryadi.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC), Yuyun Yuningsih dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.