Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satunya adalah RUU tentang Pendidikan Kedokteran yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan aksesibilitas penyandang disabilitas untuk mengikuti pendidikan kedokteran dan memperluas kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menjadi seorang dokter.
Menurut Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC), Yuyun Yuningsih, terdapat beberapa stigma yang melekat kepada penyandang disabilitas yang berkaitan dengan pendidikan kedokteran, di antaranya adalah penyandang disabilitas dianggap tidak mampu belajar ilmu kedokteran, penyandang disabilitas dianggap sebagai pasien yang selalu membutuhkan bantuan, dan sekolah luar biasa dianggap sebagai tempat pembuangan atau tempat penitipan penyandang disabilitas bukan sebagai lembaga pendidikan sehingga lulusan SMALB tidak berkualitas.
Penyandang disabilitas juga terhambat jika ingin menempuh pendidikan kedokteram karena terdapat aturan bahwa calon mahasiswa kedokteran harus sehat jasmani dan rohani atau “sempurna”.
“Diperlukan upaya afirmatif yang berkeadilan dengan prinsip nondiskriminasi untuk menjamin kesamaan kesempatan bagi calon mahasiswa kedokteran dengan disabilitas di dalam RUU Pendidikan Kedokteran,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Pendidikan Kedokteran: Membangun Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas dalam Pendidikan Kedokteran” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Kamis (30/9/2021).
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa menuturkan bahwa saat ini draf RUU Pendidikan Kedokteran sudah disepakati dan hampir selesai. Oleh karena itu, aspirasi komunitas penyandang disabilitas mengenai aksesibilitas dalam pendidikan kedokteran dapat masuk ke dalam pasal di draf terakhir RUU Pendidikan Kedokteran. Ledia juga menyampaikan bahwa pendidikan kedokteran harus sinergi dengan sistem pendidikan nasional dan menjadi bagian dari sistem kesehatan nasional.
Menurutnya, fokus DPR dan pemerintah saat ini adalah meningkatkan kualitas guru dengan penyandang disabilitas, guru di sekolah inklusi, guru di SLB, serta pengembangan karier dan pendidikannya.
Terakhir, Juniati Effendi yang merupakan dokter gigi dan Ketua Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, membagikan pengalamannya ketika menempuh pendidikan kedokteran dan lulus pada 1986. Saat berkuliah, ia berusaha keras mengikuti perkuliahan dengan membaca gerak bibir dosen dan bertanya kepada teman kuliah karena saat itu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas tuli seperti juru bahasa isyarat dan speech-to-text belum tersedia.
Menurutnya, penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan pendidikan hingga ke jenjang tertinggi untuk setara dengan nondisabilitas. Ia yakin bahwa penyandang disabilitas mampu untuk menjadi dokter. Oleh karena itu, perlu disediakan kebutuhan aksesibilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas ketika menempuh penddidikan kedokteran.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Pendiri Indonesian Deaf-Hard of Hearing Law and Advocacy (IDHOLA), Andi Kasri Unru dan Peneliti Perhimpunan Jiwa Sehat, Fadel Basrianto, dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.