Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan (RUU Perkumpulan) merupakan salah satu RUU yang terdapat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada periode Prolegnas 2010-2014, RUU Perkumpulan merupakan RUU usulan Pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2011, namun belum pernah dibahas. Sementara untuk Prolegnas periode 2015-2019, RUU Perkumpulan diusulkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Pada Prolegnas periode 2020-2024, RUU Perkumpulan juga terdaftar dalam Prolegnas, namun sampai dengan tahun 2023 belum menjadi Prolegnas Prioritas.
Menurut peneliti PSHK, Ronald Rofiandri, faktor utama yang melatarbelakangi urgensi RUU Perkumpulan adalah ketertinggalan dasar hukum perkumpulan dengan dinamika sosial kemasyarakatan. Dibandingkan dengan yayasan, pengaturan tentang perkumpulan masih mengacu kepada Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) dan Staatsblad 1939 nomor 570 tentang Perkumpulan Indonesia (inlandsche Vereeniging).
“Beragam aspek pengaturan dalam kedua Staatsblad tersebut sudah tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat saat ini seperti model struktur organisasi hingga kemungkinan perkumpulan dapat mendirikan badan usaha,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun bertema “Urgensi Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan Pasca Ditetapkannya Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan” yang diselenggarakan Badan Keahlian DPR RI pada Kamis (9/2/2023).
Selama ini pengaturan tentang perkumpulan baru dimunculkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU 17/2013 atau UU Ormas). Itu pun hanya mengatur secara khusus syarat mendirikan badan hukum perkumpulan. Berbagai peraturan pelaksana dari UU Ormas tidak ada yang mengatur tentang badan hukum perkumpulan.
Lebih lanjut menurut Ronald, terkait dengan ketentuan tentang syarat mendirikan Yayasan, UU Ormas mengembalikannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Perlakuan yang berbeda justru ditemukan pada pengaturan badan hukum Perkumpulan. Jika mengikuti pola pengaturan Yayasan, maka syarat mendirikan Perkumpulan seharusnya dikembalikan dan diatur secara khusus dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang terpisah (dalam hal ini UU Perkumpulan). Perbedaan ini memunculkan ketidakkonsistenan pengaturan antara Perkumpulan dan Yayasan dalam UU Ormas.
Selain itu, UU Ormas yang menempatkan Yayasan dan Perkumpulan dalam satu kelompok pengertian mengakibatkan timbulnya kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. Sementara perkumpulan merupakan organisasi (berbadan hukum) berbasiskan anggota.
Sebagai penutup, Ronald menambahkan bahwa RUU Perkumpulan penting untuk segera dibahas dan disahkan karena dapat memberikan jaminan berupa perlindungan dan kepastian hukum atas hak berserikat berbagai perkumpulan di Indonesia. Keberadaan UU Perkumpulan juga akan mencabut ketentuan mengenai perkumpulan yang masih terdapat dalam berbagai peraturan antara lain Buku Ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata/KUHPer (Burgerlijk Wetboek) dan Staatsblad.