Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk dalam prioritas adalah RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Draf RUU tentang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai belum memiliki pasal khusus yang mengatur mengenai pemulihan dan pelindungan korban kekerasan seksual dan belum mengatur mekanisme perlakuan khusus dan pelindungan lebih bagi korban kekerasan seksual yang merupakan penyandang disabilitas.
Menurut Direktur Eksekutif YAPESDI Indonesia Down Syndrome Care, Agus Hasan Hidayat, disabilitas mental atau intelektual lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan Data Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta selama sepuluh tahun terakhir, sebanyak 59% dari total 140 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas yang didampingi, hampir 40% kasus terjadi pada disabilitas intelektual.
Kerentanan tersebut terjadi di antaranya disebabkan karena penyandang disabilitas mental atau intelektual dianggap tidak memiliki kecapakan bertindak, tidak memiliki kecakapan hukum, tidak memiliki pendidikan yang cukup, dan minimnya akses terhadap informasi.
Agus menambahkan bahwa penyandang disabilitas memiliki beberapa kebutuhan khusus terkait penanganan kekerasan seksual, di antaranya adalah perlu modul kekerasan seksual harus dibuat dengan bahasa sederhana untuk disabilitas intelektual, pelatihan khusus untuk aparat penegak hukum dalam menangani seluruh ragam disabilitas dengan melihat kebutuhannya, menyediakan pendamping disabilitas, dan rumah rehabilitasi pemulihan trauma di setiap kabupaten atau kota.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Penguatan Jaminan Pelindungan Penyandang Disabilitas dari Tindak Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Selasa (28/9/2021).
Sementara itu, pendamping korban yang juga merupakan Tim advokasi RUU PKS dari Forum Pengada Layanan, Novita Sari, menuturkan bahwa tantangan penanganan kekerasan seksual yang ditemui selama menjadi pendamping adalah keterbatasan definisi bentuk kekerasan seksual; modus tipu muslihat, bujuk rayu, manipulasi situasi, dan relasi kuasa belum dikenali dan dilaksanakan; KUHAP menetapkan lima alat bukti dalam memenuhi syarat pembuktian sehingga menyulitkan korban; korban sering disalahkan dan distigma oleh aparat penegak hukum atas kasus yang dialami; korban juga kerap dilaporkan balik oleh pelaku; dan lain sebagainya.
Menurut Novita, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) versi sebelum diubah menjadi RUU TPKS memiliki beberapa keunggulan, yakni mengatur tentang pemulihan korban, baik sebelum hingga setelah proses peradilan, serta pengawasan atas proses pemulihan tersebut. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, korban tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa atas perkara pidana yang terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami korban. Terakhir, RUU PKS juga mewajibkan aparat penegak hukum untuk menyediakan pendamping bagi korban.
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, menuturkan bahwa usulan perubahan judul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan upaya mengakomodasi masukan yang muncul, sehingga RUU ini dapat segera disahkan dan memberikan pelindungan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ia juga menjamin bahwa draf awal RUU TPKS yang diusulkan Tenaga Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR tidak akan jauh berbeda dari draf RUU PKS.
Taufik menuturkan bahwa pelindungan dan perlakuan khusus kepada penyandang disabilitas dalam RUU TPKS akan meliputi penindakan khusus oleh aparat penegak hukum, prosedur pencegahan, tanggung jawab negara dalam menjamin hak penyandang disabilitas, dan pendidikan terkait dengan kekerasan seksual untuk publik.
Ia juga mengakui bahwa hingga saat ini, Baleg DPR belum melibatkan komunitas penyandang disabilitas pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) sebelumnya. Jika terdapat RDPU lanjutan, Taufik berjanji akan mengusulkan ke Baleg DPR untuk mengundang perwakilan komunitas penyandang disabilitas.
“Jika tidak memungkinkan, perwakilan komunitas penyandang disabilitas dapat mengikuti konsinyering yang akan diadakan oleh Fraksi Partai NasDem dalam waktu dekat. Nanti masukannya akan langsung dimuat dalam bentuk rumusan-rumusan dalam RUU TPKS,” ujarnya.
Taufik menambahkan bahwa akan memperjuangkan UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penyandang Disabilitas agar dapat menjadi konsideran RUU TPKS. Ia juga mengingatkan bahwa dinamika pembahasan RUU ini cukup tinggi, sehingga akan ada tarik ulur kepentingan.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Departemen Advokasi Pertuni, Fajri Hidayatullah, dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.