Keberlangsungan kerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di banyak negara makin menghadapi tantangan besar terutama semakin terbatasnya ruang kebebasan bagi OMS. Situasi ini telah muncul sejak pertengahan 2000-an yang dipengaruhi oleh beberapa trend yaitu: Pertama, berubahnya pola pembiayaan pembangunan dan peran negara, Kedua, perubahan situasi keamanan terutama menguatnya isu terorisme yang disalahgunakan sebagai justifikasi untuk membatasi ruang gerak OMS. Ketiga, adanya dorongan kepada OMS untuk lebih fokus pada kegiatan service delivery daripada kegiatan advokasi kebijakan. Keempat, perubahan teknologi informasi dan komunikasi, dan Kelima, tuntutan perubahan internal OMS untuk lebih akuntabel dan transparan.
Situasi dan tren di atas juga terjadi di Indonesia. Salah satu buktinya adalah pemberlakuan dan implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang membatasi ruang gerak OMS. Pada UU ini definisi OMS dan Ormas dicampuradukkan, padahal lingkup OMS jauh lebih luas jenis dan ragamnya. Sementara OMS sering di sebut salah satu pilar demokrasi, penyeimbang kekuatan sektor swasta dan negara.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga, berdasarkan Standar Norma dan Pengaturan Nomor 3 tentang Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi Komnas HAM, dari sisi bentuk badan hukumnya, organisasi nonpemerintah yang bersifat nonprofit terdiri dari enam kategori, yakni perkumpulan untuk yang berbasis keanggotaan, yayasan untuk yang berbasis nonkeanggotaan, perusahaan yang tidak diperuntukkan untuk mencari keuntungan, trust yang biasa dikenal dengan filantropi, charity sebagai bentuk hukum untuk organisasi sukarela, atau bentuk-bentuk khusus seperti perusahaan untuk kepentingan publik, dana, pusat/kajian, dan lain-lain.
Sandra menambahkan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Kewajiban positif negara berkaitan dengan hak berorganisasi meliputi kewajiban untuk menyediakan perlindungan hukum. Sementara kewajiban negatif negara berkaitan dengan pembatasan yang harus dilakukan hanya ketika dibutuhkan dan dilakukan secara proporsional.
Hal tersebut disampaikan dalam webinar bertajuk “Kerangka Hukum bagi Lingkungan Pendukung Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Penabulu melalui Program CO-EVOLVE bersama Jejaring Lokadaya bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan YAPPIKA-ActionAid pada pada Jumat (12/11/2021).
Peneliti PSHK dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Eryanto Nugroho, menuturkan bahwa saat ini tejadi salah kaprah yang memadankan istilah ormas dengan OMS. Dengan menggunakan istilah ormas, OMS akan terikat pada semua aturan yang tercantum dalam UU Ormas, termasuk segala larangan dan sanksinya. Sebagai bagian dari “Paket Undang-Undang Politik” yang cetak birunya dibuat pada masa Orde Baru, UU Ormas bertaburan pasal-pasal larangan yang membatasi ruang gerak.
Sejak Perppu Ormas tahun 2017, pembubaran Ormas bisa dilakukan pemerintah tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu. Sejauh ini sudah ada tiga organisasi yang dibubarkan tanpa pengadilan: Hizbut Tahrir Indonesia, Badan Hukum Perkumpulan ILUNI-UI, dan Front Pembela Islam.
“Banyak yang belum sadar, bahwa dengan adanya upaya meluaskan tafsir definisi Ormas, ancaman pembubaran sepihak itu kini bisa tertuju pada semua organisasi yang bergerak di sektor masyarakat sipil,” ujar Eryanto.
Eryanto juga menambahkan perlunya perubahan undang-undang untuk meluruskan kerancuan yang ditimbulkan UU Ormas. Pengaturan OMS sebaiknya dikembalikan kepada kerangka hukum yang
benar, yaitu UU Yayasan untuk OMS yang tidak berbasis anggota dan UU Perkumpulan untuk OMS yang berbasis anggota.
Sementara itu, Direktur Eksekutif YAPPIKA-ActionAid, Fransisca Fitri, menuturkan selama tujuh tahun terakhir Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) melakukan monitoring dan evaluasi UU Ormas. KKB mendokumentasikan 153 peristiwa yang dapat dibagi 9 kategori jenis tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berkumpul dengan jumlah korban mencapai 56.747 orang. Tak hanya itu, terdapat 93 peristiwa dengan 116 jenis tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berorganisasi dengan kategori pelaku yang beragam, mulai dari pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, aparat penegak hukum, DPR/MPR/DPRD, Kemenkopolhukam, Kemendagri, Kemenag, BPIP, politisi/partai politik, pimpinan organisasi masyarakat sipil (OMS), ahli/akademisi, universitas, hingga perusahaan.
Menurutnya, pemerintah harus mengevaluasi keberlakuan dan penerapan UU Ormas beserta kebijakan dan peraturan perundang-undangan turunan lainnya yang berdampak pada menyempitnya ruang gerak organisasi masyarakat sipil, termasuk produk kebijakan yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat sipil.