Setelah pada Selasa lalu (12/12) menyelenggarakan Seri #1 Seminar Forum Kajian Pembangunan (FKP), seminar kembali dilanjutkan pada Jumat (15/2) dengan tema Memahami Rekomendasi Nomor 8 FATF Dalam Rangka Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Evaluasi FATF dan Tindak Lanjutnya di Indonesia oleh Eryanto Nugroho, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Zona Pembangunan Bersama di Kawasan Maritim Obyek Sengketa oleh M. Faiz Aziz, peneliti PSHK.
Seri #2 Seminar FKP dibuka dengan paparan dari Eryanto Nugroho menyampaikan bahwa rencana bergabungnya Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF), sebuah badan antar pemerintah yang bekerja menetapkan standar dan mempromosikan mengenai peraturan dan tindakan operasional terkait sistem keuangan untuk memberantas pencucian uang, terorisme dan proliferasi, agar semakin aktif memerangi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme mengandung dua sisi koin.
“Ada dua sisi koin dari pemenuhan kepatuhan terhadap Rekomendasi 8 FATF ini. Di satu sisi, perlunya dukungan pada Pemerintah agar berhasil memenuhi Rekomendasi 8 FATF ini. Namun, di sisi lain diperlukan kerja sama dengan Pemerintah untuk menjaga ruang kebebasan masyarakat sipil” ujar Eryanto Nugroho.
Eryanto juga mencatat bahwa setidaknya ada lima tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah terkait Rekomendasi 8 FATF, yaitu pendekatan berbasis risiko, akuntabilitas organisasi nirlaba, pengawasan dan sanksi, pengelolaan informasi dan kemampuan investigasi dan kerjasama internasional.
Paparan Eryanto tersebut didasarkan pada draft Policy Paper yang disusun bersama dua Peneliti PSHK; Gita Putri Damayana dan Muhammad Reza Winata. Policy Paper ini disiapkan oleh PSHK dalam kerja sama dengan Human Security Collective, Greenacre Group, dan Portal Indonesia NGO (PINGO).
Seri #2 Seri Seminar FKP dilanjutkan oleh Muhammad Faiz Aziz. Dalam paparannya dinyatakan bahwa Zona Pembangunan Bersama merupakan cara alternatif yang digunakan oleh berbagai negara untuk mengatasi sengketa di wilayah batas laut.
Indonesia sendiri memiliki pengalaman terkait Zona Pembangunan Bersama dengan Australia di wilayah Timor Timur pada tahun 1989. Setelah Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia, kerja sama ini kemudian dilanjutkan oleh Australia dan Timor Leste.
Meski saat ini Indonesia belum memiliki sengketa terkait wilayah batas laut, Muhammad Faiz Aziz Aziz menilai bahwa Indonesia tetap perlu menyiapkan regulasi terkait Zona Pembangunan Bersama untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa depan terkait wilayah batas laut.
Di akhir paparannya, ia menekankan bahwa Zona Pembangunan Bersama merupakan sistem yang sudah diakui berbagai negara di dunia sebagai sarana alternatif kerja sama yang bisa menguntungkan negara-negara yang bersengketa dan mampu menghadirkan perdamaian di kawasan maritim obyek sengketa.
Semua sesi Seri #2 Seminar FKP dapat disaksikan di https://www.youtube.com/user/ANUIndonesiaProject/videos